Kemarin malam saya mampir di rumah Ibu. Beliau bercerita bahwa dia mendapat "kiriman" sejumlah cendera mata berupa barang keperluan sehari-hari dari seorang caleg melalui pengurus kelompok lansia di lingkungannya. Bisa diduga, "kiriman" itu disertai pesan berupa kartu nama caleg dan contoh surat suara. Si caleg maju untuk DPRD kota.
"Bagaimana ini?" tanya Ibu.
"Ya, sudah, diterima saja. Anggap saja hadiah."
"Saya mau pilih orang itu. Bagaimana caranya? 'Kan ada 5 surat suara. Ibu bingung bagaimana caranya."
"Lah, bukannya Ibu mau pilih (sebut saja) Ratna?" saya mengingatkan Ibu tentang seorang caleg DPRD kota yang dikenalnya dengan baik. Caleg itu aktif di organisasi kemasyarakatan dan Ibu beberapa kali berinteraksi dengan Bunga.
"Ya, maksud Ibu, satu surat suara untuk Ratna, satu lagi untuk (sebut saja) Galih."
"Wah, 'gak bisa, Bu. Kalau Ibu pilih Ratna, 'gak boleh lagi pilih Galih. Harus salah satu. Mereka bersaing untuk jadi anggota DPRD Kota."
"Sudah terima hadiahnya, masa kita tak balas budi?"
Hmmm. Saya sedikit berpikir. "Kalau jadi beban, kembalikan saja."
Saya hitung-hitung nilai barang yang diterima Ibu sebenarnya tidak seberapa. Sepotong handuk dan satu jam dinding yang biasa digunakan oleh perusahaan untuk promosi saya perkirakan bernilai sekitar Rp. 50.000.
"Saya bingung dengan Pemilu ini. Ada 5 surat suara yang harus ditusuk. Mana surat suaranya katanya selebar koran," Ibu berkata sedikit masygul. Mungkin beliau sedang memikirkan bagaimana cara mengembalikan hadiah yang diterimanya.