Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Putra-putra paman Sam

18 Maret 2023   06:30 Diperbarui: 18 Maret 2023   06:57 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Sebulan sebelum meninggal ibu memberitahu, seorang lelaki akan datang menjemputku.
"Kau boleh memanggilnya paman Sam," bisiknya sambil membelai wajahku dengan tangannya yang layu.
Ia memberiku selembar foto hitam-putih yang kusam dan kekuningan. Karena terlalu lama disimpan. Foto seorang lelaki muda berwajah Timur-tengah dengan tulang hidung tinggi dan sorot mata tajam.
Melihatnya aku langsung yakin, lelaki itu pasti bukan ayahku. Karena penampilan kami sangat tidak mirip. Sementara siapa sebenarnya ayah kandungku, aku sendiri tidak tahu. Aku tidak pernah merasakan kehadirannya semenjak lahir. Sementara ibu sangat enggan memberitahu latar belakang pernikahannya yang gagal. Yang membuatnya harus menjadi ibu tunggal hingga akhir hayatnya.

Peristiwa itu menimpa tatkala usiaku sembilan tahun. Seminggu setelah pemakaman ibu paman Sam berkunjung panti asuhan milik gereja, tempat aku dititipkan hampir setahun lamanya. Kala ibu didiagnosa menderita kanker payudara stadium empat dengan harapan hidup takkan lebih dari setahun.
Rupanya paman Sam sudah mempersiapkan proses adopsiku secara cermat dan legal. Ia datang bersama seorang advokat dan menunjukkan surat-surat legal yang diperlukan. Menunjukkannya kepada kepala panti untuk memperlancar proses adopsiku.
Hari itu juga paman membawaku pergi menuju rumahku yang baru. Terletak di kaki gunung Slamet dengan pemandangannya yang menakjubkan. Di sana keluarga baruku tinggal berdampingan dengan sebuah resort berkapasitas 54 kamar. Mereka hidup dari hasil menyewakan tempat peristirahatan tersebut yang tersambung dengan ladang strobery.
Sabtu, minggu dan hari-hari liburan tamu yang menginap hampir memenuhi seluruh kapasitas kamar yang ada. Tempat tinggal kami dibanjiri pengunjung dari berbagai daerah, membuat kami tidak pernah merasa kesepian.          

Meski memiliki sejarah menyedihkan sebagai yatim piatu, aku tumbuh menjadi gadis yang periang. Tanpa mengalami gangguan proses menyesuaikan diri aku langsung mampu menyatu dengan keluarga baruku. Terutama berkat kelembutan hati istri paman yang kupanggil "bibi Nur".  Ia selalu memperlakukanku bagai anak kandung sendiri.
Aku memiliki dua orang kakak angkat, Richard yang usianya lima tahun lebih tua dariku. Juga Michael yang sebaya denganku. Namun ia tetap menganggapku sebagai adik, lantaran lebih tua dua bulan dariku. Aku menghabiskan masa kanak-kanak hingga menjelang dewasa bersama mereka.

Kedua putra paman memiliki sifat sangat berbeda. Richard mempunyai pembawaan dingin, jarang mengekspresikan perasaan. Ia juga amat pendiam. Orangnya tekun dan serius. Lebih senang melewatkan waktu menyendiri di kamar untuk belajar. Sebaliknya Michael sangat senang mengumbar sifatnya yang liar. Hiperaktif dan eksploratif. Seolah---olah seluruh hal negatif keluarga terkumpul semua dalam dirinya. Termasuk perangainya yang kasar dan keusilannya.
Kedua anak paman dengan karakter berbeda ini pun mewarnai kehidupan masa kecil hingga dewasaku. Mereka turut membangun kepribadianku. Mengantarku tumbuh menjadi seorang gadis yang berkeyakinan, bahwa dunia ini cukup indah untuk diselami.

Awal perkenalanku dngan keluarga sahabat almarhumah ibuku dimulai oleh Michael dengan caranya yang keterlaluan.
Sejak kedatanganku bibi Nur sudah mempersiapkan kamar pribadi masing-masing bagi kami bertiga. Terletak di lantai dua rumah kami yang terletak di belakang resort. Kamarku sejajar dengan kamar Michael. Punya balkon yang menghadap hambaran kebun stroberi dengan latar belakang gunung Slamet. Sedang kamar Richard terletak di bagian selatan. Balkonnya menghadap pelataran depan resort. Dari kamar itu ia bisa mengamati pelbagai aktivitas para tamu yang menginap.
Seperti yang barusan kuceritakan, Michael punya caranya sendiri untuk mendekatkan diri denganku. Secara diam-diam ia memasukkan seekor katak ke laci bajuku. Tatkala laci kubuka binatang itu langsung melompat, menempel ke bahu.
Aku berteriak histeris, disaksikan Michael di ambang pintu kamar sambil tersenyum puas. Aku memelototinya dengan geram. Tak lama kemudian Richard muncul. Menangkap binatang reptil itu dan melemparkannya keluar balkon.
"Kau sebaiknya mempersiapkan mentalmu menghadapi berandal itu," ujarnya sambil menangkap bahuku. Lalu mengusapnya berkali-kali untuk mengurangi efek kejut.

Semenjak awal aku sangat tertarik kepada Richard yang mempunyai perangai "menghanyutkan". Begitu tenang, bagai air telaga dengan kedalamannya yang mampu membuatmu tenggelam.
Sementara Michael lebih mirip lautan yang selalu mengirimkan deburan ombak yang menggemparkan.
Suatu hari ia menarik tanganku, lalu membawaku lari ke pohon Kersen yang terletak tidak jauh dari pelataran resort. Ia menunjukkan tanaman yang rindang tersebut, dengan butiran-butiran buahnya yang bertebaran di sela-sela daunnya. Rantingnya menyebar, nampak kokoh. Michael dengan gesit memijakkan kakinya ke batang yang berlekuk, lalu menggunakan salah satu tangan untuk menahan berat tubuhnya yang bongsor dan tinggi. Tangan lain diulurkannya kepadaku. Membantuku memanjat.
Dengan hati-hati aku mengikuti jejaknya, selangkah demi selangkah hingga mencapai puncak ketinggian pohon.
Michael tersenyum puas menyaksikan aku berhasil menuruti keinginannya. Namun di luar dugaan dengan gerakan gesit ia tiba-tiba meluncur turun dari pohon. Lantas lari begitu saja meninggalkanku tersandera di situ.
Sayup-sayup kudengar suara gelak tawanya makin menjauh. Tertelan oleh bunyi deru kendaraan pengunjung resort yang mau memarkir atau meninggalkan pelataran.
Aku mencoba berteriak berulang kali memanggil Michael. Sayang suaraku tidak cukup nyaring guna menarik perhatian siapapun. Dengan putusasa aku menangis terisak, entah untuk berapa lama.
Aku sedang terkantuk-kantuk ketika seseorang memanjat pohon peneduh tersebut. Menghampiri posisiku. Lantas membujukku mengikuti langkahnya turun. Tatkala berada di ketinggian 1,5 meteran ia mengambil inisiatif melompat terlebih dulu ke tanah agar bisa menangkap tubuhku. Dia adalah Richard.
Kudapati perasaanku menghangat berada di dalam rengkuhannya. Sambil menuntunku kembali ke tempat tinggal ia menasihatiku untuk tidak harus selalu menuruti ajakan Michael. Karena sifat adiknya yang nakal dan usil.

Mengikuti nasehat Richard aku berusaha menjaga jarak dengan adiknya. Ajakannya untuk bermain bersama kutolak. Aku lebih memilih berada dekat Richard dengan pembawaannya yang meneduhkan. Perbedaan usia kami beberapa tahun berdampak terhadap relasi kami. Ketimbang bermain ia lebih senang mengajakku membaca buku atau mendengarkan musik. Kamarnya dipenuhi tumpukan buku yang tertata rapi di rak. Terdiri dari novel remaja maupun komik Jepang dan berbagai buku dongeng dari Eropa. Juga ada puluhan CD dan DVD bersama alat pemutarnya.
Aku betah berada di kamar itu. Menungguinya belajar sambil berbaring di ranjangnya. Membaca komik atau mendengarkan musik pop.

Suatu minggu siang paman dan bibi mengajak Richard mengunjungi salah seorang kerabat yang anaknya kuliah di Bandung. Paman ingin mendapat wawasan mengenai kelanjutan pendidikan putra sulungnya kelak bila lulus dari SMA.  Kesempatan ini digunakan Michael untuk mengajakku jalan-jalan. Ia menyatakan keinginannya membawaku menikmati matinee show  di sebuah bioskop kecil yang tersemat di dekat pasar bunga.
Setelah mempertimbangkan kemungkinan kecil ia bakal mengisengiku, kuterima ajakannya. Berboncengan dengan sepeda kami pun keluar rumah, menyusuri jalan yang berlekuk sejauh lima kilometeran menuju taman wisata milik Pemda setempat. Daerah itu ramai karena dipenuhi deretan kios cendera mata dan warung makan. Di situ ada bioskop kecil yang lebih banyak memutar filem horor atau Bollywood untuk orang dewasa. Disesuaikan selera penduduk sekitar yang rata-rata berpendidikan rendah.
Berkat kelicinannya Michael berhasil mengajakku menyusup masuk ke dalam ruang bioskop yang diperuntukkan bagi orang berusia tujuh belas tahun ke atas tersebut. Kami berdua menikmati kepuasan luar biasa atas petualangan kami yang berhasil masuk tanpa membeli karcis. Sepanjang dua jam disuguhi nyanyian, tarian eksotis dan adegan ciuman bintang Amitabh Bachchan dan shashi Kapoor.
Semua yang ditampilkan mampu membangkitkan fantasi kanak-kanak usia 11 tahun seperti kami yang terpukau oleh kehidupan glamor orang dewasa, tanpa alur cerita jelas.
Kesimpulanku pulang nonton : bangsa India adalah bangsa paling bahagia di dunia. Mereka mampu menyelesaikan seluruh masalah hidup misalnya putus cinta, kemiskinan dan kematian hanya dengan menyanyi dan menari!    

Sambil membawa obsesi ingin secepatnya menjadi manusia dewasa kami menyusuri taman wisata. Berhenti di hadapan air terjun yang suasananya sepi Michael mengajakku duduk di sebuah batu alam raksasa. Ia membantuku menaikinya dengan mendorong bokongku.
Kami duduk berdampingan sambil merasakan uap-uap menyegarkan menebar dari curahan air di ketinggian tebing sekitar lima belas meteran yang jatuh menimpa kubangan berbentuk telaga. Michael dengan lagaknya yang "sok jantan" merangkulku. Ia menjelaskan, untuk bisa menjadi orang dewasa hal pertama yang harus dilakukan adalah belajar " berciuman".
Lantas ia menangkap wajahku. Menyuruhku memicingkan mata dan menempelkan mulutnya ke bibirku. Mirip adegan dalam filem yang barusan kita tonton. Begitu mudah!
Setelah itu ia memintaku membalas menciumnya. Namun aku tidak mau. Karena aku hanya ingin memberikan ciuman pertamaku untuk lelaki yang kucintai.
Michael nampak kecewa, namun tidak memaksaku. Wajahnya tetap terlihat ceria kemerahan. Dengan mantap ia membantuku melompat turun dari batu. Kami bergandengan tangan berjalan menuju penitipan sepeda. Berboncengan pulang. Sepanjang perjalanan ia terus menerus menyuruhku melingkarkan tanganku ke pinggangnya. Memeluknya erat sebagaimana layaknya orang pacaran. Aku menurutinya lebih karena takut terlempar jatuh. Karena ia sengaja ngebut dan sesekali meliukkan sepedanya secara ugal-ugalan.

Setelah hampir seharian berpisah kami kembali menyatukan diri ketika makan malam tiba. Bibi Nur menyajikan ayam goreng dan pindang bandeng yang dibelinya dalam perjalanan pulang. Sepanjang acara makan paman banyak bicara; tidak seperti biasanya. Ia mengungkapkan keinginannya mengirim putra pertamanya ke ITB yang baru-baru ini membuka sekolah bisnis berorientasi internasional.  Mengikuti jejak anak kerabat yang baru saja mereka kunjungi.
Sesekali aku mencuri pandang, mencermati ekspresi Richard yang datar, tidak mengungkapkan ekspresi apa-apa. Terlihat khusuk menikmati hidangan di hadapannya. Sesekali menanggapi komentar sang ayah dengan sopan, " Ya papa." Hingga acara makan malam selesai dan kami pun membubarkan diri.
Setelah selesai mengerjakan PR aku memutuskan mendatangi kamar Richard yang lampunya masih menyala, sekitar jam delapan.
Richard sedang membuka brosur yang diperolehnya siang tadi sambil duduk menyender dan meluruskan kaki di ranjang.
Aku menghampirinya penuh semangat. Duduk di sisi ranjang.
Ia menggeser tubuhnya untukku.
"Aku punya sesuatu untukmu," bisikku yang membuat wajahnya diliputi tandatanya.
"Ayo pejamkan matamu," bujukku yang segera dipatuhinya.
Tanpa membuang waktu aku langsung menempelkan bibirku ke mulutnya. Mendaratkan ciuman pertamaku untuk lelaki idamanku.
Sayang sekali reaksinya tidak sesuai dengan skenarioku.
Ia melonjak sambil membelalakkan matanya. Memandangiku dengan terperanjat, seolah-olah aku adalah sesosok alien yang secara tiba-tiba jatuh dari langit menembus kamarnya.
"Kamu.... Kamu ini apa-apaan," serunya sambil melompat turun dari ranjang. Menunjuk mukaku dengan ekspresi marah.
"Kamu ini masih bocah. Siapa yang mengajarimu seperti itu?" Hardiknya.
"Michael," jawabku spontan. Tidak menyangka hal itu makin memperparah reaksinya.
"Dasar bocah tengil!" Umpatnya seraya menarik tanganku dan mendorongku keluar secara kasar.
"Lain kali jangan seenaknya masuk ke kamarku!" Ia memperingatkanku sambil membanting pintu. Tepat di hadapanku yang masih berdiri di luar kamarnya beberapa saat dengan tampang dungu.

Semenjak kejadian itu hubunganku dan Richard merenggang. Ia nampak kikuk bila kusapa atau kudekati. Ini menjadi pertanda bagiku, bahwa ia tidak tertarik terhadapku. Sebuah kenyataan pahit yang harus kutelan menjelang awal remaja. Kini satu-satunya teman dekatku tinggal Michael yang eksploratif dan tak henti-hentinya mengajakku menelusuri beragam sudut kehidupan menuruti caranya.
Suatu hari selagi paman dan bibi pergi kondangan ia mengajakku mengendap-endap masuk ke ruang kerja ayahnya. Menurutnya sang ayah punya misteri yang tak terpecahkan semenjak ia lahir di dalam ruang tersebut. Karena ia selalu mengunci ruang itu serta melarang siapapun memasukinya. Apalagi kami. Beliau menaruh anak kunci di dalam vas bunga di depan ruangan yang terletak di lantai satu.
Kami pun masuk dengan jantung berdebar. Berharap menemukan pintu rahasia yang bila ditekan akan spontan bergeser menembus lorong bawah tanah, tempat seluruh harta karun terpendam.
Sayang selain tumpukan arsip, catatan administrasi resort dan brankas kami tidak menjumpai hal-hal yang luar biasa. Namun Michael tidak sependapat. Ia justru menemukan harta karun di rak belakang meja kerja sang ayah berupa koleksi beragam botol-botol minuman dengan berbagai bentuknya yang unik.
"Ini disebut minuman Sorga," katanya dengan lagak sok tahu seraya mengambil salah satu botol. Menunjukkannya kepadaku.
Tanpa ragu dibukanya botol itu. Isinya tinggal setengah. Aromanya tajam menggoda.
" kita cicipi sedikit saja agar papa tidak curiga," serunya sambil menyesap isi botol itu seteguk. Lalu menyodorkannya padaku agar meniru langkahnya.
Minuman itu masuk ke kerongkonganku, memberi sensasi panas yang aneh.
Demikian kami mencicipi botol kedua, ketiga dan selanjutnya..... Aku tidak ingat lagi. Yang kurasakan adalah bumi gonjang-ganjing dan berputar seperti gasing. Lalu aku jatuh terlelap entah di mana. Yang jelas ini bukanlah Sorga seperti yang kuharapkan !  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun