Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perselingkuhan

10 Juni 2021   07:30 Diperbarui: 10 Juni 2021   07:51 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hingga masa remaja berakhir aku hanya mengakrabi dan jatuh cinta sepenuhnya kepada seorang pria saja. Dia adalah Frans. Waktu itu aku masih kelas dua SMP. Sedang dia kelas satu SMA Bruderan. Lokasi sekolah kami berhimpitan. 

Kami tinggal di jalan yang sama, Sawangan. Aku di gang dua, dia di gang lima. Jadi tiap berangkat dan pulang sekolah kami sering berpapasan. Beberapa kali ia menghampiriku yang sedang berjalan menuju sekolah dengan sepedanya. Mengajakku membonceng. Tapi kutolak. 

Akhirnya ia memutuskan ikut jalan kaki agar bisa menjejeriku. Aku senang melihat semangatnya mendekatiku. Apalagi ia tampan, dengan postur tubuh tinggi. Kulitnya putih bersih. Rambutnya khas anak-anak Bruderan yang diberi kebebasan tampil semaunya, asal pintar. Jadi ia membiarkan rambutnya yang ikal tergerai memanjang. Untuk masa itu Frans kelihatan keren sekali.

Sayang kami sama-sama berasal dari keluarga dengan keadaan ekonomi yang tidak prospektif. Ayahnya pekerja sebagai mandor pabrik soun. Frans anak sulung dengan empat orang adik. Ibunya seorang ibu rumahtanga.

Sedang kedua orangtuaku membuka kios kecil berjualan sembako di Pasarwage. Aku anak ke lima dari tujuh bersaudara. Kakak pertama dan keduaku perempuan. Hanya mengenyam pendidikan hingga SMP saja. Mereka harus menggantikan tugas ibu -yang pergi ke pasar dari subuh hingga sore - untuk mengurus rumah dan kelima adiknya. Kakak nomor tiga lelaki. Ia memilih mengambil sekolah siang agar bisa bekerja sebagai loper koran paginya.

Seluruh keluarga mendukungku untuk tetap bersekolah; syukur sampai lulus perguruan tinggi. Karena hampir tiap tahun aku selalu menduduki peringkat pertama. Mereka berharap suatu saat kelak aku bisa menjadi penyelamat ekonomi keluarga.

Setamat SMA Frans berhasil mendapat beasiswa melalui program BIDIKMISI yang diselenggarakan pemerintah daerah. Ia diterima di jurusan Matematika ITB. Aku merasa bangga sekali walaupun berat harus berpisah kota dengannya. Tekadku bulat. Harus mengikuti jejaknya: kuliah di Bandung.

Aku lulus SMA dengan predikat ranking dua dari 80 siswa yang berasal dari tiga kelas di sekolahku. Keluarga sepakat aku harus melanjutkan studi ke universitas walaupun masih bingung sumber biayanya.

Waktu itu kakak sulungku mba Uut sudah menikah. Suaminya  bekerja sebagai supir di sebuah perusahaan yang mendistribusikan besi baja dan bahan bangunan terbesar di kataku. Bosnya sudah sering membiayai kuliah anak-anak karyawannya yang berprestasi. Mereka diharuskan mengembalikan hutang kepada perusahaan bila sang anak sudah lulus dan bekerja.

Jadi siang itu sepulang dari sekolah aku diajak kang Pardi kakak iparku menemuinya. Masih mengenakan seragam putih-abu-abu. Tapi sudah mempersiapkan raport serta beberapa piagam yang kudapatkan dalam lomba cerdas-cermat antar sekolah. Kami menemui pemilik perusahaan tersebut di kantornya.

Pak Bastian orang yang sangat sederhana. Kaos yang dikenakannya merupakan hadiah pabrik cat, tertera dari logo di dadanya. Wajahnya biasa saja. Berkening lebar. Sorot matanya tajam, mencerminkan kecerdasan.. Rambutnya dipotong cepak mulai dihiasi uban. Ia mengamati ku cukup lama sebelum mempersilahkan ku duduk. Pembawaannya yang ramah membuatku merasa relaks menjawab semua pertanyaannya. Baik menyangkut prestasi sekolah, minat serta rencana masa depan. Ia menampung ceritaku dengan tangan ditangkupkan di meja. Sabar mendengarkan. Sesekali menimpali. Ungkapan kata-katanya singkat tanpa basa-basi. Kurasa karena pada dasarnya ia bukan lelaki yang pandai bicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun