Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) semakin nyata mengancam keselamatan masyarakat sipil di Papua. Mereka melakukan berbagai aksi brutal yang secara langsung melanggar hak asasi manusia, terutama terhadap kelompok rentan seperti mama-mama Papua, perempuan, anak-anak, dan warga pendatang. OPM masuk ke kampung-kampung, membakar rumah, menghancurkan sekolah, merampas bahan makanan warga, dan menebar ancaman kepada siapa saja yang tidak tunduk pada kehendak mereka. Kekejaman semacam ini bukan lagi sesuatu yang tersembunyi, sudah terlihat jelas dan dirasakan langsung oleh masyarakat di berbagai wilayah Papua.
Salah satu kasus paling sadis yang baru terjadi adalah penyiksaan terhadap seorang perempuan Papua di Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Perempuan tersebut diperlakukan secara tidak manusiawi oleh kelompok OPM, disiksa secara keji, lalu digantung hidup-hidup di depan warga sebagai bentuk teror. Aksi ini mencerminkan kekejaman yang brutal dan melanggar prinsip dasar kemanusiaan. Kejadian ini bukan satu-satunya, tapi menjadi penanda bahwa OPM telah menjadikan perempuan sebagai sasaran kekerasan untuk menimbulkan ketakutan massal. Negara tidak boleh diam. Tindakan seperti ini harus dihentikan dengan pendekatan hukum yang tegas dan terukur.
Mama Yohana Murib, tokoh perempuan Papua, menyampaikan dengan penuh amarah dan duka bahwa perempuan di kampung-kampung Papua kini hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Mereka tidak lagi merasa aman di rumah sendiri. Dalam berbagai kejadian, perempuan dianiaya, dilecehkan, bahkan disiksa di depan keluarga mereka. Ini bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikologis yang menghancurkan martabat dan kemanusiaan. Mama Yohana mendesak negara untuk melindungi perempuan dan anak-anak Papua dari ancaman nyata yang ditimbulkan oleh OPM.
Tokoh masyarakat Lembah Baliem, Lukas Itlay, menegaskan bahwa masyarakat Papua kini semakin menyadari bahwa OPM adalah ancaman bagi keselamatan dan kehidupan sehari-hari. Mereka datang membawa senjata, memaksakan kehendak, dan menyerang warga yang tidak mendukung mereka. Lukas menyebut bahwa tindakan OPM adalah bentuk terorisme terhadap masyarakat sipil yang seharusnya hidup damai. Warga desa kehilangan ladang, kehilangan rumah, bahkan kehilangan anggota keluarga karena kekejaman mereka. Lukas menekankan pentingnya negara hadir secara aktif dan konkret dalam menjamin perlindungan warga sipil dari ancaman kelompok tersebut.
John Wonda, Ketua Pemuda Adat Papua, mengungkapkan bahwa generasi muda di Papua tidak ingin masa depannya dirusak oleh kekerasan yang terus dipertontonkan OPM. Sekolah dibakar, guru diancam, dan akses pendidikan terputus. Anak-anak kehilangan masa depan, dan remaja kehilangan harapan. OPM telah mematikan ruang tumbuh bagi generasi muda Papua. John menyatakan bahwa pemuda Papua tidak bisa terus diam. Mereka kini berdiri di garis depan bersama masyarakat, menolak kekejaman, dan menuntut agar pelaku kekerasan terhadap warga, terutama perempuan dan anak-anak, diseret ke pengadilan dan dihukum seberat-beratnya.
Pendeta Melkias Pigai dari Dewan Gereja Papua menilai bahwa kekerasan yang dilakukan OPM merupakan pelanggaran moral dan nilai-nilai iman. Gereja mencatat banyak laporan penyiksaan, pembunuhan, dan intimidasi terhadap jemaat di daerah pedalaman. Kasus penyiksaan terhadap perempuan Papua dengan cara digantung merupakan puncak dari kekejaman yang tidak bisa dibenarkan dalam bentuk apa pun. Pendeta Melkias menyerukan kepada pemerintah dan aparat keamanan untuk segera mengambil langkah nyata demi menghentikan penderitaan rakyat. OPM bukan mewakili rakyat Papua, mereka adalah ancaman kemanusiaan yang harus dihentikan demi menyelamatkan generasi Papua dari kehancuran lebih jauh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI