Pun di Singapura, membawa anjing ke ruang publik berarti membawa serta kantong plastik kecil untuk membersihkan kotorannya, dan ada konsekuensi hukum bagi yang lalai.
Kalau di Amerika Serikat, dog park menjadi ruang sosial yang mempertemukan manusia dan hewan, tempat di mana anjing bisa bermain bebas tanpa mengganggu pengunjung lain.
Indonesia tentu memiliki konteks berbeda, baik dari sisi budaya maupun infrastruktur.
Tidak semua orang nyaman berbagi ruang dengan hewan. Ada yang merasa terganggu, ada yang khawatir soal kesehatan, bahkan ada pula yang berlandaskan keyakinan agama.
Itu artinya, membangun kota yang ramah hewan tidak bisa hanya meniru konsep luar negeri, melainkan harus disesuaikan dengan realitas sosial kita sendiri.
Namun, bukan berarti mustahil. Ada banyak peluang yang bisa dikembangkan.
Pemerintah daerah, misalnya, bisa mulai dengan menyediakan ruang terbuka hijau khusus untuk hewan, lengkap dengan fasilitas kebersihan.
Komunitas pecinta hewan bisa menjadi motor penggerak kesadaran, mengedukasi bahwa membawa hewan ke ruang publik berarti membawa tanggung jawab ekstra.
Sementara masyarakat umum perlu diyakinkan bahwa keberadaan hewan peliharaan di ruang publik tidak otomatis berarti ancaman, selama ada aturan yang ditegakkan.
Pada akhirnya, kesiapan masyarakat Indonesia menuju pet-friendly city akan ditentukan oleh sejauh mana kita bisa membangun budaya saling menghargai.
Pemilik hewan harus paham bahwa hak mereka untuk menikmati ruang publik berjalan beriringan dengan kewajiban menjaga kebersihan dan kenyamanan orang lain.