Ketika diplomasi dibungkam, perlawanan menjadi bahasa terakhir yang dimengerti penjajah
Peristiwa 7 Oktober 2023---yang kini genap dua tahun berlalu---menandai titik balik geopolitik dan moral dunia modern.Â
Serangan Hamas ke wilayah Israel menjadi pemicu perang terbuka, namun di balik dentuman roket dan seruan balasan militer, tersembunyi jeritan panjang dari dunia yang telah diblokade secara fisik, ekonomi, dan naratif selama lebih dari tujuh dekade.Â
Tulisan ini menganalisis Anniversary Kedua Serangan 7 Oktober dengan menyoroti tiga dimensi: hegemoni global dalam narasi konflik, ujian nurani dunia terhadap penderitaan sipil Palestina, serta kemunafikan sistem internasional yang menjustifikasi kekerasan struktural.Â
Dengan pendekatan kualitatif dan telaah teori hegemoni Gramsci serta etika politik Hannah Arendt, studi ini mengungkap bahwa tragedi Gaza bukan sekadar konflik teritorial, melainkan cermin kegagalan moral kolektif manusia.
Pendahuluan
Serangan 7 Oktober sering direduksi sebagai aksi "terorisme" oleh sebagian media Barat. Namun, bagi banyak pengamat global, peristiwa itu adalah letupan kemarahan akibat puluhan tahun pendudukan dan blokade.Â
Israel membalas dengan serangan udara yang menewaskan lebih dari 60.000 warga Palestina hingga 2025 (PBB, 2025).Â
Dunia terbelah antara yang menyebut Hamas sebagai pelaku kekerasan, dan yang melihat Israel sebagai simbol penjajahan modern.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana hegemoni narasi bekerja: siapa yang memegang kontrol atas media global, ia mengatur moral dunia.Â
Narasi dominan menempatkan Israel sebagai korban permanen, sementara Palestina diposisikan sebagai ancaman eksistensial.Â