Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kartini Tak Sekadar Kebaya

21 April 2019   01:25 Diperbarui: 21 April 2019   20:43 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Illustrated by lifestyle.okezone.com)

Perempuan memang bagian terpenting dari sejarah laki-laki yang hadir di pentas sejarah. Ada simbiosis mutualisma yang berjalin berkelindan antara perempuan dan yang laki-laki. Tolong, jangan mempertentangkan jenis kelamin ketika sejarah dibuat. Lihatlah pada karya-karya luar biasa yang dihasilkannya. Perempuan dan Laki-Laki kebermaknaannya indah dari warna-warni pelangi yang berbeda-beda dan itu adalah karya sang pencipta.

Kartini sejatinya jangan diukur dengan pakaian baju kebaya untuk memperingatinya. Tak perlu lah berbaju kebaya terkhusus di tanggal 21 April dengan melakukan segala aktivitas oleh perempuan. Sopir perempuan berbaju kebaya, presenter televisi wanita berbaju kebaya, pegawai berbaju kebaya bahkan sampai ada kepala daerah yang menghimbau untuk berbaju kebaya.

Jangan kerdilkan Kartini dengan sepotong baju kain kebaya. Kartini sudah berjuang tangguh membebaskan perempuan dari kungkungan alam feodal untuk terciptanya kesetaraan bagi perempuan dalam pendidikan, sosial, kebudayaan.

(Illustrated by pinterest.com)
(Illustrated by pinterest.com)
Raden Ajeng Kartini besar dalam sebuah pemikiran, pertentangan dan perlawanan-mengutip judul tulisan Qory Dellasera- bahwa bermula dari seringnya Kartini membaca buku dan koran-koran. Membaca buat wawasan Kartini semakin luas dan kritis. Ia mengetahui di Negara Belanda perempuan memiliki pemikiran yang maju dan ia pun ingin memajukan perempuan Indonesia.  

Bersama beberapa orang perempuan, Kartini membuat kelompok belajar khusus perempuan yang sudah di sudutkan dalam dunia pendidikan kolonial dan tak dapat bersekolah tinggi. Kartini juga berkoresponden surat dengan gerakan perempuan feminis di Belanda seperti Ny Ovink Soer, Q Nellie Van Kol (Ny. Van Kol) Stella.     

Kartini menentang feodalisme, patriarki yang membabi buta dan penindasan perempuan bermotif budaya. Kartini mendobrak ketiga hal tersebut dan juga kritiknya pada metode pendidikan penjajah Belanda kepada pribumi yang berkamuflase.

Apa yang dilakukan Kartini kala itu adalah respon sesuai dengan masanya. Lalu apa yang dapat dilakukan perempuan saat ini. Pertama, penindasan terhadap perempuan bermotif budaya dan agama masih sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Para perempuan mesti bersatu suara menentang neo-feodalisme bermotif budaya dan beralaskan agama. 

Kedua, semangat Kartini adalah semangat perlawanan maka perempuan Indonesia mesti "melawan" kepada Rancangan Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang mendiskreditkan perempuan. Pendidikan kritis untuk perempuan harus sering dilakukan oleh LSM yang berconcern dalam pemberdayaan pendampingan perempuan. Semoga.

***

JR
Curup
21.04.2019   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun