Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

(Masih) Bergunakah Sastra?

16 Maret 2019   16:04 Diperbarui: 25 Maret 2019   15:42 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sastra berasal dari bahasa sansekerta yang bermakna kebijaksanaan atau pedoman (Gambar diambil dari Pixabay.com)

Tujuan sastra adalah mengubah darah menjadi tinta (TS Elliot)

Di masa Yunani Kuno pernah terjadi perdebatan antara Plato dan Aristoteles tentang seni dan sastra pun terseret arus debat itu karena sastra bagian dari seni yaitu seni sastra.

Plato berpendapat negatif terhadap seni. Menurutnya seni hanya menyajikan suatu khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari "kebenaran." Alur berpikir Plato ini, setiap benda yang diamati berwujud dalam berbagai bentuk namun setiap benda itu mencerminkan suatu ide yang asli (gambar induk).

Sebuah contoh ketika seorang tukang membuat meja ia meniru (mimesis) meja dari dunia ide yang sudah ada di dalam ide/pikirannya itu. Peniruan itu tak sama persis seperti aslinya. Kenyataan yang dapat diamati dengan pancaindera selalu kalah dengan dunia ide.

Tulis Plato lagi, seorang tukang lebih dekat pada kebenaran daripada seorang pelukis atau penyair (baca: sastrawan) karena mereka meniru kenyataan yang dapat disentuh dengan panca indra dan itu tidak bermutu.  

Hingga Plato bersimpulan lebih penting pekerjaan tukang, penemu, pembuat Undang-Undang, panglima daripada kerja pensyair (baca: sastra) yang hanya meniru kemudian menggambarkannya dan juga puisi memberi umpan kepada emosi dan meredupkan akal budi. (Jan van Luxemburg dkk, 1989: 16). Pendapat Plato ini tak lepas dari negara ideal yang dicita-citakannya.

Pendapat Plato ini dibantah oleh Aristoteles yang mengungkapkan jika mimesis bukan sekAdar peniruan realitas semata melainkan juga sebuah proses kreatif yang bertitik tolak dari kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru.

Menurut Aristoteles lagi tujuan seni (baca: sastra) bukanlah untuk menghadirkan dimensi tampilan lahiriah sebuah objek melainkan mengangkat dimensi arti batinnya. Hingga Aristoteles bersimpulan karya seni dianggap baik ketika berkemampuan menyentuh akal (intelek) dan rahsa (perasaan) manusia.

Berganti zaman tak otomatis perdebatan di atas meredup. Perdebatan itu menggaung lagi ketika mempertanyakan kegunaan sastra. Masih bergunakah sastra yang memuat kenyataan hidup manusia untuk memberi pedoman manusia dalam menjalani hidupnya? Proses kreatif yang diagungkan oleh sebagian sastrawan masih berhubungankah dengan kenyataan? Sejauh mana sastra mencerminkan kenyataan? Kekuatan estetis sastra mampukah menjadi terapi?

Kenyataan dalam Proses Kreatif Sastra 

Sebagian manusia modern dalam hidupnya mengalami kelaparan kekuasaan, kelaparan uang, kelaparan kebahagiaan, dan di sisi lain mengalami tragedi, kepiluan, kehampaan, kegelisahan, pengharapan, benci, kerinduan, dendam, dan pesimistis. Tapi sebagian manusia juga ada yang mampu mengatasi hal-hal di atas.

Persoalan-persoalan yang dialami manusia tersebut oleh sastrawan menjadi bahan bakar untuk pemicu munculnya proses kreatif. Proses kreatif yang muncul bukan dari kehampaan ruang atau tak terhubung sama sekali dengan kenyataan hidup manusia. Proses kreatif sastrawan ini kemudian mengambil bentuknya dalam lisan dan tulisan. 

Sastra berbentuk lisan ini di dengar oleh sekian banyak orang dan sastra tulis yang kata-katanya dituliskan kemudian dibaca dan menyebar. Pendengaran dan pembacaan terhadap karya sastra meningggalkan kesan-kesan (impresi) di dalam ingatan dan jiwa manusia serta memberikan pengaruh. Benarlah ungkapan Schiller bahwa sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda.

Novel berjudul Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela, karya sastrawan Jepang Tetsuko Kuroyanagi yang diterbitkan berbahasa Indonesia oleh PT. Gramedia berkisah tentang gadis cilik bernama Totto Chan dianggap nakal oleh sekolah sebelumnya kemudian pindah ke sekolah Tomoe yang unik karena gerbong kereta api dijadikan sekolah, unik cara belajarnya karena para murid bebas memilih pelajaran yang dimaui serta ia juga mendapatkan pelajaran berharga tentang persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain, serta kebebasan menjadi diri sendiri.  

Novel Totto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi dapat jadi bukti bagaimana berpadunya kisah nyata atau kenyataan hidup yang dialami oleh Tetsuko dengan proses kreatif yang kemudian di novelkan dan memberi pengaruh kepada dunia pendidikan bukan saja di Jepang tapi juga di belahan negara-negara lainnya. Bahkan beberapa orangtua menjadikan novel tersebut sebagai model untuk mendidik anak-anak dan dijadikan terapi untuk mengatasi anak-anak yang dianggap "nakal."

Sastra juga dapat menjadi terapi yang dimaknai dengan memberikan efek menyembuhkan terhadap persoalan hidup yang dialami manusia. Beragam persoalan dalam kehidupan manusia dihadapkan kepada estetika bahasa yang melenakan akal dan alur cerita yang mengobati jiwa.

Kemudia sastra sebagai terapi memberikan inspirasi sebagai suatu jalan keluar dari belitan persoalan hidup yang dihadapi manusia. Sastra sebagai terapi juga mencoba menempatkan diri sesuai dengan apa yang dihadapi oleh manusia dan menceritakannya dari perspektif yang berbeda.

Novel Totto Chan (Sumber: prelo.co.id)
Novel Totto Chan (Sumber: prelo.co.id)
Pendangkalan Makna Sastra

Sastra mengalami pendangkalan makna saat sekarang ini. Sebagian orang memaknai sastra hanya semata terkait dengan keindahan atau estetika semata.

Keindahan sastra dalam kodratnya merupakan suatu fakta kerohanian yang hanya dapat berkomunikasi kepada manusia apabila rasa manusia itu hidup dan mudah tergetar. Pengobatan untuk penyakit-penyakit kemanusiaan sejatinya tak hanya agama dan ilmu pengetahuan saja tetapi sastra juga dapat menjawabnya.

Nasib sastra yang kadang kala terpinggirkan dapat juga sebenarnya menjadi obat mujarab bagi persoalan kehidupan yang dialami manusia. Kekuatan sastra ada pada bahasa yang menggugah hati dan akal. Sastra mengandung pikiran, meski ditulis dengan bahasa hati, sementara sastrawan dalam kehidupannya sehari-hari terikat pula pada nilai-nilai yang membutuhkan pemikiran.

Kerja dan karya sastra adalah kerja yang mulia sekaligus berat (Gambar diambil dari Pixabay.com)
Kerja dan karya sastra adalah kerja yang mulia sekaligus berat (Gambar diambil dari Pixabay.com)
Sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna kebijaksanaan atau pedoman. Jika sastra dimaknai dengan kebijaksanaan maka sejatinya yang diharapkan dari hasil suatu sastra yang dibuat oleh sastrawan dalam proses kreatifnya adalah lahirnya sebuah karya yang berisikan kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk manusia dalam mengarungi kehidupanya.

Kemudian juga tatkala sastra dipahami dengan pengertian "pedoman" maka ia menjadi semacam navigasi atau alat petunjuk bagi orang-orang yang berlayar di dalam kapal kehidupan untuk mengarungi lautan kehidupan yang mana cuacanya terus berubah.

Kerja dan karya sastra adalah kerja yang mulia sekaligus berat. Kerja seorang sastrawan bagaikan seorang bidan yang menolong ibu dalam persalinan untuk melahirkan anaknya dengan selamat. 

Proses kreatif sastrawan berupa karya, seperti prosa, puisi, drama, cerita pendek dan novel alangkah baiknya jika berujung untuk menyelamatkan manusia itu sendiri. Semoga.

Curup
16.03.2019.
JR (Ditulis untuk Kompasiana.com)

Taman Bacaan:

  1. Jan van Luxemburg, dkk. Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. PT. Gramedia. Jakarta. 1989
  2. Tetsuko Kuroyanagi. Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela. PT. Gramedia. Jakarta. 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun