Presidensi G20 tahun 2022 bertemakan "Recover Together, Recover Stronger" dan Indonesia sebagai tuan rumah memilki peran untuk membangun diskusi kebijakan ekonomi yang dapat mengakselerasi pemulihan ekonomi pasca pandemi. Menyambut hal tersebut Bank Indonesia bersama Kompasiana mengadakan kompetisi blog dengan salah satu tema yang diangkat adalah Ekonomi Inklusif bagi Perempuan, Pemuda dan Disabilitas dan saya berharap tulisan ini dapat menyumbang pemikiran pada diskusi G20 nanti. Inklusi keuangan menurut laman Kementerian Keuangan adalah kondisi dimana setiap anggota masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan. Layaknya kebijakan ekonomi pada umumnya, inklusi keuangan selalu membawa manfaat baik maupun buruk. Hal ini dikarenakan oleh sifat dasar kebijakan publik yang selalu mengandung sudut pandang dilematis dengan menempatkan dua tujuan berbeda pada masing -- masing sisi timbangan. Jelasnya dalam ekonomi hal ini disebut sebagai biaya peluang atau opportunity cost, sebuah konsep biaya yang harus dikorbankan akibat dari keputusan yang dibuat, lantas apakah inklusi keuangan bebas biaya?
BIAYA INKLUSI DAN PERMASALAHANYA
Inklusi keuangan bertujuan untuk memberikan akses layanan keuangan kepada setiap profil penduduk mulai dari pria atau wanita, tua atau muda, hingga disabilitas dengan tujuan pertumbuhan ekonomi  dan peningkatan pemerataan. Lantas apakah kemudian semua biaya yang diperlukan untuk mencapai inklusi dapat diabaikan? Jawabanya tidak semudah itu, walaupun berbagai media memuat inklusi sebagai sebuah cita -- cita dan harapan sedikit sekali ada yang sempat membahas masalah biayanya lagipula tidak ada seorang pun yang ingin menjadi musuh publik. Mahendra dalam Financial Inclusion: Issues and Challenges (2015) menyebutkan masalah utama inklusi keuangan pada kaum marginal dan minoritas kembali kepada kemampuan mereka untuk bertahan terhadap gempuran pergolakan aktivitas ekonomi. Dalam tulisanya Mahendra menjelaskan juga bagaimana petani kecil di India tidak bisa bertahan dengan hanya mengandalkan kredit usaha yang disalurkan melalui pihak perbankan tapi juga memerlukan bentuk pembiayaan lainya seperti investasi pada sistem irigasi, infrastruktur pada area pedesaan, subsidi pupuk - benih yang baik, dan terakhir sarana distribusi. Melalui tulisan Mahendra kita belajar bahwa untuk meng - inklusifkan pembiayaan pada petani kecil di daerah tertinggal, pemerintah perlu menggalakan dana ekstra pada berbagai program yang mungkin besaran manfaatnya sangat sedikit terhadap pertumbuhan ekonomi hanya agar petani kecil dapat bertahan.
Dalam konteks tema ekonomi inklusif bagi perempuan, pemuda dan disabilitas juga memilki kondisi yang tidak jauh berbeda, bahkan ironisnya lembaga keuangan sendirilah yang menahan iklusi keuangan dapat tercapai sepenuhnya. Bagi perempuan sebagai contohnya kredit konsumsi dan usaha untuk nasabah berjenis kelamin perempuan biasanya lebih sulit lolos dibandingkan pada mereka yang berjenis kelamin laki -- laki dengan pertimbangan perempuan memiliki tenaga yang lebih sedikit, memiliki upah rata -- rata yang lebih rendah, memerlukan hari libur tambahan dalam bekerja seperti cuti melahirkan, dan berbagai alasan lainya. Kondisi ini didukung oleh data indeks inklusi keuangan perempuan yang lebih rendah dibandingkan laki -- laki tepatnya 75,15% berbanding 77,24% yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada tahun 2021.
Kemudian untuk disabilitas kondisinya juga sama memprihatinkan. Melalui Maulana dalam Urgensi Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas Fisik dan Sensorik pada Perbankan Berbasis Inklusi Keuangan (2022) Setidaknya ada 7 jenis disabilitas menurut UU No. 8 Tahun 2016 yang diataranya masih sukar mendapat pelayanan yang layak di berbagai institusi layanan keuangan seperti toilet difabel, desain lantai landai, pintu ramah difabel, dan huruf braile. Selanjutnya dalam hal pembiayaan melalui aplikasi fintech, difabel juga perlu dibantu oleh orang lain untuk mengajukan aplikasi akibat dari kurang adanya mode ramah difabel pada berbagai form pengajuan baik melalui offline maupun online.
KEADILAN VS PERTUMBUHAN
Inklusi keuangan dengan memperhatikan pemerataan pada minoritas demografi memerlukan biaya yang lebih mahal dibandingkan fokus mencari dan mengembangkan potensi pertumbuhan ekonomi, lantas apakah bisa ditinggalkan begitu saja? Jawabanya juga tidak, sekali lagi kita kembali dipaksa melihat keadilan dan pertumbuhan melalui dua sepatu yang berbeda pada dua sisi timbangan yang berbeda. Siapa yang dapat memilih jenis kelamin sebelum ia dilahirkan? Siapa yang mau menjadi disabilitas? Terakhir siapa yang mau menunggu waktu hingga dianggap matang untuk mendapatkan layanan keuangan yang setara? Tentunya pertanyaan -- pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang tidak bisa dijawab karena pada dasarnya tidak ada yang mampu mengontrol takdir. Keadilan dipersonifikasikan dalam lady justice oleh Augustus kaisar dari romawi dalam bentuk wanita yang memegang timbangan dengan mata tertutup dan tangan lainya memegang bilah pedang, sebuah konsep keadilan yang tidak memandang kedua pihak tertimbang dan otorisasi kekuasaan yang bersifat memaksa.
Lantas bagaimana seharusnya inklusi keuangan dilaksanakan? Berbeda dengan kaisar romawi, Menurut saya pemerintah rasanya tidak bisa hanya menutup mata pada masalah inklusi keuangan dan mengambil jalan tengah menggunakan kekuasaan untuk meraih keadilan. Diperlukan kajian pembasahan komprehensif bersama para ahli di bidangnya untuk menetapkan takaran keadilan yang dapat memaknai sila kelima Pancasila seutuhnya.