Dalam berbagai forum internasional, isu solidaritas dunia Islam kerap digaungkan sebagai kebutuhan mendesak untuk menghadapi tantangan global---mulai dari penjajahan ekonomi, krisis kemanusiaan, hingga konflik sektarian yang masih mengoyak berbagai wilayah. Namun, seruan akan persatuan itu kerap kandas di tengah realitas politik yang penuh fragmentasi. Di sinilah pentingnya melihat ke dalam sebelum melihat ke luar dimana solidaritas dunia Islam tidak akan terwujud tanpa reformasi internal di setiap negara Muslim.
Reformasi internal bukan sekadar perubahan administratif atau kebijakan teknokratis. Ia harus menyentuh akar-akar persoalan seperti tata kelola yang korup, ketimpangan sosial-ekonomi, lemahnya supremasi hukum, dan kebebasan sipil yang dibungkam. Negara-negara mayoritas Muslim harus berani merekonstruksi sistem politik dan sosial mereka agar lebih adil, transparan, dan inklusif. Tanpa fondasi ini, retorika solidaritas hanya akan menjadi slogan kosong yang berputar di seminar dan konferensi tingkat tinggi.
Dalam konteks ini, pendekatan Presiden Prabowo Subianto terhadap dunia Islam layak dicermati. Prabowo menampilkan arah kebijakan luar negeri yang lebih aktif membangun kedekatan dengan negara-negara Muslim, sekaligus mengedepankan posisi Indonesia sebagai kekuatan moral dan moderat. Dengan latar belakang militer dan nasionalisme yang kuat, Prabowo menekankan pentingnya kedaulatan dan stabilitas domestik sebagai prasyarat diplomasi yang efektif---termasuk dalam solidaritas Islam.
Di sisi lain, Prabowo mempromosikan kerja sama pertahanan, pangan, dan energi dengan negara-negara Timur Tengah dan Asia Selatan. Ia tetap menegaskan posisi Indonesia sebagai negara demokrasi yang inklusif, menjadikan Islam sebagai nilai budaya, bukan alat dominasi politik.
Penegasan ini semakin kuat saat Presiden Prabowo membuka The 19th Session of the Conference of the Parliamentary Union of OIC Member States (PUIC) di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI. Dalam pidatonya, Prabowo menekankan bahwa esensi ajaran Islam adalah cinta kasih, dan bahwa dunia Islam harus menghidupkan kembali semangat keteladanan para tokoh besar Islam serta menyatukan langkah demi masa depan yang lebih adil dan sejahtera. Ia juga mengingatkan bahwa tanpa kekuatan bersama, niat untuk menghadirkan perdamaian dapat dipandang lemah oleh pihak lain.
Reformasi internal juga berarti mengedepankan prinsip good governance yang berbasis nilai-nilai Islam itu sendiri yakni amanah, musyawarah, dan keadilan. Negara seperti Indonesia, dengan demokrasi yang relatif stabil dan masyarakat sipil yang dinamis, memiliki potensi besar menjadi contoh bagaimana Islam dan modernitas bisa berjalan seiring.
Jika dunia Islam ingin memainkan peran strategis dalam percaturan global, ia harus memulainya dari rumah sendiri. Reformasi internal bukan pilihan, melainkan prasyarat untuk kebangkitan bersama. Hanya dengan begitu, solidaritas dunia Islam bisa menjadi kekuatan nyata, bukan sekadar wacana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI