Mohon tunggu...
Fajar Yulianto
Fajar Yulianto Mohon Tunggu... Content Writer -

Blogger

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meneladani Semangat Kartini

23 April 2014   01:36 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:19 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Berita: http://female.kompas.com/read/2014/04/21/1333167/Persahabatan.RA.Kartini.dengan.Perempuan.Belanda.Buka.Pintu.Ruang.Emansipasi.

[caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Sumber Gambar: female.kompas.com"][/caption]

Setiap tanggal 21 April, banyak anak-anak, dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) rame-rame memakai baju adat. Mereka yang orang Padang memakai baju Padang, yang Jawa Tengah memakai baju adat Jawa Tengah, semuanya berbaur menggunakan identitas daerah dan sukunya masing-masing. Mereka berkumpul untuk memeragakan busana adat. Biasanya, yang paling cantik di atas catwalk, dan memiliki suara yang indah ketika menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini—karya W. R. Soepratman, akan menarik perhatian para juri untuk dijadikan juaranya.

Itulah pemandangan umum yang masih terlihat ketika hendak merayakan Hari Kartini setiap tahunnya. Tak ada edukasi yang lebih konkret untuk menjelaskan siapa R. A. Kartini yang sebenarnya. Umumnya sebagian dari kita hanya tahu bahwa Kartini adalah tokoh yang dilabeli “pejuang emansipasi wanita” saja, tanpa menyebarkan nilai dan semangatnya secara menyeluruh. Padahal nilai-nilai perjuangan yang dilakukan oleh Kartini bisa dijadikan teladan bagi seluruh anak muda di Indonesia, khususnya perempuan.

Sedari lahir, Kartini yang lahir pada tanggal 21 April 1879, adalah keturunan bangsawan Jawa. Ayahnya, Raden Mas Adipati Sosroningrat, adalah bupati Jepara. Kartini sendiri adalah anak dari istri pertama (yang bukan utama), M. A. Ngasirah—anak dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono.

Nampaknya kehadiran internet belum mampu menarik minat sebagian anak muda untuk mencari tahu siapa R.A Kartini, dan apa yang telah ia lakukan. Padahal ia adalah pemikir feminis yang bergulat dengan buah pikir yang tertuang dalam surat-surat yang ia kirimkan kepada kawan-kawannya di Belanda. Salah satu yang menjadi fokus perjuangannya adalah keluar dari kungkungan adat Jawa yang menurutnya sangat memundurkan derajat wanita—yang, menurut Kartini, bisa disejajarkan dengan para lelaki untuk soal pendidikan dan kebebasan dalam melakukan suatu hal.

Pada usia 13 tahun—tepatnya ketika Kartini baru lulus sekolah dasar di sekolah dasar anak eropa, Europeesche Lagere School—sudah merasa terpukul karena ia mulai dipingit (tradisi Jawa untuk wanita sebelum ada pria yang mau menikahinya). Seperti apa yang ia sampaikan melalui surat kepada Rosa Manuela Abendanon (kawan penanya) di Belanda, wanita yang sedari kecil dikenal lincah ini mengatakan bahwa masa mudanya telah hilang.

Namun keadaan ini justru membuatnya banyak memikirkan berbagai macam gagasan. Ketika adik-adiknya, Roekmini dan Kardinah sudah mulai dipingit, ia mulai menerapkan kebebasan kepada mereka. Seperti tidak perlu membungkuk ketika melewati Kartini (sebagai orang yang lebih tua di antara mereka) dan menggunakan bahasa kromo inggil untuk orang yang lebih tua.

Kartini pernah mendirikan sekolah untuk perempuan Jawa. Sekolah itu merupakan sekolah untuk perempuan Jawa pertama di Hindia Belanda. Di sekolah itu, seperti yang dikutip oleh Tempo dalam bukunya Seri Buku Tempo: Perempuan-Perempuan Perkasa, Gelap Terang Hidup Kartini, Kartini mengajari anak-anak perempuan membaca, menulis, menggambar, memasak, merenda, menjahit dan kerajinan tangan lainnya.

Indonesia Membutuhkan Teladan

Semangat menimba ilmu dan memperjuangkan hak masyarakat yang Kartini miliki seharusnya menjadi teladan. Hari ini kita sering melihat foto R. A. Kartini di dinding sekolah, namun hanya sedikit yang paham perjuangan yang ia lakukan. Kartini bisa dijadikan sebagai contoh teladan dalam hal apapun; semangatnya menimba ilmu di tengah ketidakmungkinan, mengajar dan menjadi teladan bagi anak-anak perempuan, dan menggerakkan ekonomi masyarakat (karena Kartini berperan besar dalam menghidupkan seni pahat Jepara hingga bernilai jual tinggi).

Gelar pahlawan yang diberikan oleh Seokarno pada tahun 1964 memang banyak memicu pro dan kontra. Sebagian orang menganggap apa yang dilakukan oleh Kartini belum ada apa-apanya dengan Cut Nyak Dhien atau Martha Christina Tiahahu yang terjun langsung ke medan perang. Di bidang pendidikan, ada Dewi Sartika dinilai lebih unggul dari puteri Sosonigrat ini. Kartini dinilai belum layak karena hanya sebatas berkirim surat dengan kawan penanya di Belanda.

Mari kita pahami baik-baik. Salah satu cara berjuang para pendiri bangsa adalah dengan menulis dan mengajar. Sebut saja nama Agus Salim dan Mohammad Hatta. Keduanya sama-sama memiliki gagasan yang mencerahkan—yang kemudian dituangkan lewat tulisan. Kartini memang bukan diplomat ulung seperti Agus Salim. Ia juga memang tidak seberuntung Mohammad Hatta yang bisa bersekolah di luar negeri. Tapi Kartini adalah representasi dari semangat manusia Indonesia yang berjuang untuk menciptakan perubahan. Gagasan yang tertuang dalam surat-suratnya merupakan tulisan seorang feminis awal di eranya. Ia berjuang ditengah tekanan mental yang luar biasa.

Nilai semangat inilah yang harus ditularkan ketika hendak membuat parade baju adat setiap tanggal 21 April. Apalah artinya baju kebaya yang mahal, jika setelah acara selesai tidak ada nilai yang bisa dijadikan teladan?

Anak muda Indonesia sangat membutuhkan banyak figur yang bisa dijadikan teladan. Karena dengan teladanlah para anak muda bisa menumbuhkan benih-benih integritas—yang akan dibawa ketika sudah menjadi pemimpin. Pemimpin di sini konteksnya sangatlah luas. Bisa menjadi pemimpin dalam keluarga, organisasi atau bahkan untuk negara.

Kelak jika sudah menjadi pemimpin, semangat serta pesan positif tersebut akan terus memiliki efek penyebaran yang viral. Dan nantinya akan timbul keturunan baru dengan integritas yang paling tidak sepadan dengan para pendahulunya.

Tentunya pada era digital seperti ini para anak muda lebih mendapatkan kemudahan. Semuanya bebas untuk mengenyam pendidikan hingga ke luar negeri tanpa memandang jenis kelamin. Maka dari itu guru serta orang tua harus menjadi dan menularkan nilai teladan yang baik seperti R.A Kartini bagi generasi perubah bangsa.

Tulisan ini juga dipublikasikan di Beritasatu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun