Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Remaja Hamil, Harus Segera Dinikahkan?

15 Desember 2013   09:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:54 1539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1387072973980801033

[caption id="attachment_283937" align="aligncenter" width="550" caption="Illustrasi (kangrivan.com)"][/caption]

Suatu ketika seorang gadis SMU yang masih berumur 17 tahun dihamili oleh teman angkatannya. Ini tentu menjadi aib besar untuk keluarga kedua belah pihak. Orang tua wanita kemudian menuntut pertanggungjawaban dari anak laki-laki untuk menikahi putrinya. Karena merasa terpaksa oleh situasi kedua remaja ini pun menyatakan niatnya untuk menikah demi kehidupan baru yang telah dititipkan di dalam rahim sang wanita. Kemudian mereka mendatangi pemimpin agamanya untuk meminta dinikahkan secara Katolik. Hal ini tentu menjadi dilema tersendiri bagi pemimpin agama tersebut. Mengapa? Dari segi usia keduanya belum cukup umur untuk menikah secara Katolik karena keduanya belum cukup umur karena menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK) Gereja Katolik yang kemudian diterjemahkan dalam konteks Indonesia oleh Konferensi Gereja Katolik (KWI) menetapkan bahwa batas umur minimal pria untuk menikah secara Katolik 20 tahun dan wanita 18 tahun. Dengan demikian, kedua remaja yang baru berumur 17 tahun ini jelas terhalang dari segi umur untuk menikah secara Katolik. Dasar pertimbangan batas umur minimal ini adalah bahwasanya pernikahan adalah persekutuan hidup atas dasar cinta tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun, di mana kedua mempelai dapat mengambil tanggung jawab untuk bisa setia dalam untuk dan malang, sehat maupun sakit, serta dalam suka dan duka seumur hidup sampai maut memisahkan keduanya. Meskipun kedewasaan seseorang untuk bisa mengambil tanggung jawab penuh tidak selalu berbanding lurus dengan umur, pengalaman membuktikan bahwa anak-anak remaja pada usia tersebut belum cukup matang membina hidup pernikahan yang membutuhkan pengurbanan dan ketabahan ekstra, apalagi harus setia seumur hidup sampai maut memisahkan keduanya. Karena kemungkinan bahawa secara psikologis keduanya masih labil secara emosional yang dibuktikan dengan tindakan keduanya yang membuahkan kehidupan baru meski kehidupan mereka masih dibawah tanggung jawab penuh kedua orang tuanya. Labilnya emosi keduanya menjadi potensi dan ancaman bagi rapuhnya dasar atau sendi-sendi mahligai perkawinan yang mereka bangun pada hari-hari sesudah perkawinan. Atas dasar inilah biasanya kemudian sangat dianjurkan agar keduanya menunda pernikahan sampai umur dan waktu menguji apakah kedua memang telah siap untuk menjalin ikatan nikah yang takterceraikan tersebut. Namun, kalau memang anak yang belum dewasa tetap mau menikah, maka dibutuhkan persetujuan uskup setempat dan sedapat mungkin restu orangtua. Berdasarkan hukum gereja juga, hanya dengan alasan berat, pernikahan semacam itu boleh dirahasiakan kepada orangtua si anak, dan dengan demikian jelas tidak diperlukan restu mereka juga. Persoalan anak yang hamil ketika masih di usia sekolah, masih remaja memang menjadi persoalan pelik bagi kedua orang tua atau keluarga besar. Terkadang motivasi orang tua untuk segera menikahkan keduanya lebih didasarkan pada usaha untuk 'menutupi aib' keluarga oleh karena peristiwa tersebut tanpa memperhitungkan bahwa apakah kedua anak remaja tersebut secara mental sudah siap atau tidak menjalani semua konsekuensi pernikahan yang menanti mereka di kemudian hari. Karena menikah bukan soal demi status, apalagi sekedar untuk 'menutupi aib' keluarga besar. Sebab yang nantinya berjuang untuk menghidupi kesetiaan dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, untuk maupun malang bukanlah kedua orang tua tersebut melainkan kedua anak remaja bersangkutan. Pertanyaanya: apakah bentuk tanggung jawab yang dituntut dari keduanya haruslah dengan segera menikahkan keduanya meskipun nurani kedua orang tua dari masing-masing anak tersebut mengatakan bahwa keduanya masih labil secara emosional untuk mengambil tanggung jawab atas aneka konsekuensi yang menyertai janji nikah keduanya? Ataukah ada bentuk tanggung jawab lain yang bisa diusahakan oleh kedua orang tua kedua remaja tersebut tanpa harus dengan cara segera menikahkan keduanya? Bukan perkara mudah memang bagi remaja dan juga kedua orang tuanya ketika mengalami situasi seperti ini.


Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun