Pagi ini sebuah stasiun TV lokal menayangkan aksi penggerebekkan pelacur di sebuah taman kota oleh aparat keamanan malam tadi. Yang menarik dari tayangan ini adalah ketika kamera disorot ke arah para pelacur, mereka umumnya menutupi wajah mereka dengan tangan, tas atau telapak tangan. Seolah-olah mau mengatakan, kami masih mempunyai rasa malu.
Hal ini berbeda sekali dengan tayangan yang menampilkan wajah koruptor di negeri ini. Dengan enteng, para koruptor di negeri ini tetap tebar pesona di depan kamera. Boro-boro menutup wajah eh malah kebanyakan menampilkan wajah munafik, tanpa rasa bersalah sedikitpun, dipoles senyuman lebar untuk menarik simpati publik. Benar-benar tidak tahu malu. Parahnya lagi dibela abis-abisan oleh rekan, kolega, dan kroni-kroninya seolah-olah mereka adalah pahlawan dan malaikat yang turun dari kayangan. Inilah tipikal manusia-manusia tragik.
Bagi saya, pelacur dan koruptor sama-sama menjalankan bisnis penjualan harga diri. Pelacur menggadaikan harga diri untuk mendapatkan makan, koruptor juga menggadaikan harga diri demi menumpuk uang sebanyak-banyaknya. Bedanya, yang satu menjual tubuhnya sendiri untuk makan. Yang satunya menggadaikan tubuh rakyat untuk kesenangannya sendiri. Yang pasti pelacur masih lebih terhormat dibandingkan koruptor karena yang dijual adalah tubuhnya sendiri. Pelacur makan hasil keringatnya sendiri meskipun sama-sama tidak halal, sedangkan koruptor tidak perlu berkeringat untuk mendapatkan makan.
Pelacur mengedepankan prinsip: “anda puas, kami senang.” Koruptor memakai motto: “anda sengsara, kami senang.” Bagi pelacur, kesenangan konsumen juga kebahagiaan baginya karena semakin tinggi tingkat kepuasan yang diberikan, semakin kempis juga dompet anda. Sedangkan koruptor, rakyat semakin sengsara, mereka makin terbahak-bahak. Semakin banyak uang rakyat yang dikuras tanpa bisa dibuktikan, semakin mereka menari bahagia.
Koruptor dan pelacur juga sama-sama bagi hasil dengan mucikari. Mucikari pelacur adalah germo dan perantaranya. Sedangkan mucikari koruptor adalah aparat-aparat dan pengacara yang bisa disuap untuk membebaskan diri.
Yang pasti bagi saya, pelacur masih lebih terhormat dibandingkan koruptor. Karena mereka masih mempunyai rasa malu dan ada kemungkinan untuk bertobat. Sedangkan koruptor sudah tidak memiliki nurani, mati rasa bersalahnya, maka tipis sekali kemungkinan untuk berubah.
Seharusnya koruptor diasingkan di pulau tersendiri seumur hidup dan dipekerjakan secara paksa seperti para korban stigmatisasi PKI di Pulau Buruh. Mereka harus diberi fasilitas minim, penjagaan ketat 24 jam, dan dididik makan dari keringat mereka sendiri dengan mengolah pulau gersang menghasilkan pangan bagi kehidupannya. Di KTP mereka dicantumkan tanda khusus, ekskoruptor agar diperlakukan berbeda di tengah kehidupan bersama.