Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pak Jokowi, Tragedi Manokwari Hanya Gunung Es!

19 Agustus 2019   21:02 Diperbarui: 20 Agustus 2019   18:16 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lagu 'Aku Papua' ciptaan Franky Sahilatua ini, baik syair maupun nadanya melukiskan banyak hal tentang Papua. Di sana, ada kebanggaan akan tanah Papua dengan alamnya yang indah dan kaya, tetapi ada juga jeritan mendalam anak Papua yang tidak menjadi tuan di atas alamnya nan indah dan kaya. Seolah-olah ada teriakan sublim untuk menghargai Aku Papua yang hitam kulit dan keriting rambut. Aku berbeda dengan kalian, aku belom sungguh diterima sebagai bagian dari kalian yang adalah Indonesia.

Hari ini, Indonesia berduka karena Papua bergejolak. Tragedi Manokwari hari ini hanyalah gunung es dari rumitnya memahami akar persoalan Papua. Persoalan Papua bukan sekedar kesenjangan sosial dan pemerataan pembangunan.

Sejak bergabung menjadi bagian dari Indonesia, tidak semua warga Papua menerima itu. Masih ada di kalangan masyarakat Papua merasa bukan bagian dari NKRI karena sejarah Papua berbeda dengan sejarah kemerdekaan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan itu diwariskan/diceritakan turun-temurun. 

Gerakan memerdekakan diri masih ada  dalam diri sebagian masyarakat Papua. Mereka merasa wajar memperjuangkan kemerdekaan Papua karena "Penentuan Pendapat Rakyat" (Pepera) tahun 1969 itu cacat hukum. Karena bagi mereka cara Pepera dilaksanakan itu tidak sesuai dengan peraturan hukum yang telah disepakati dan ditetapkan: "one man, one vote". 

Selain itu, rapat pleno PBB mengesahkannya tanpa memperhatikan penyelewengan yang dilaporkan para pengamat yang oleh PPB sendiri diutus untuk memantau  caranya "Act of Free Chocice" dilangsungkan. Akibatnya Act of Free Choice itu pada kenyataan menjadi Act of No Choice, sebagamana bisa kita baca, baik dalam studi P.J. Drooglever (dkiterbitkan PT Kanisiusdi Yogyakarta pada tahun 2010 dengan judul: Tindakan Pilihan Bebas -- Orang Papua dan penentuan nasib sendiri)] maupun dalam info dari wikipedia. 

Sidang Umum PBB mengesahkan hasil Pepera dengan memukul palu, tanpa membaca isi laporan para pengamat. Bangsa-bangsa di dunia mementingkan hubungan dagang dengan Indonesia di atas hak bangsa Papua atas penentuan nasibnya sendiri.

Oleh karena itu, Organisasi Papua Merdeka atau kelompok yang pro kemerdekaan tidak akan pernah bisa ditumpas ketika model pendekatannya masih militeristik. Sejak pemberlakuan Daerah Operasi militer pada zaman Soeharto, banyak rakyat Papua yang mati terbunuh. Kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil di Papua masih terjadi sampai hari ini. 

Bagi masyarakat Papua, negara melalui militer telah melakukan pelanggaran HAM berat di Papua. Luka ini belum benar-benar sembuh, mengingat munculnya antipati terhadap atribut militer. 

Penolakkan terhadap TNI dan desakan untuk menarik TNI dari beberapa wilayah di Papua mengindikasikan rasa antipati sebagian masyarakat Papua atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang sampai kini tidak ada pertanggungjawaban dari negara. 

Ada perasaan ketidakpercayaan publik Papua terhadap negara. Adanya transmigrasi pada masa Soeharto juga semakin membuat masyarakat Papua merasa teralienasi, termarginalkan di atas tanah mereka sendiri. Antipati terhadap suku tertentu masih ada di sanubari masyarakat Papua: ada perasaan bahwa orang Papua masih 'dijajah' oleh pendatang dari suku tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun