Munich, 2025. Di bawah lampu putih kebiruan Allianz Arena, Paris Saint-Germain akhirnya menulis babak baru dalam sejarahnya juara Liga Champions untuk pertama kalinya.
Lima gol tanpa balas ke gawang Inter Milan. Dominan, dingin, dan tanpa kompromi. PSG yang dulu dikenal sebagai tim "gagal di saat genting", kini naik ke podium tertinggi Eropa. Tapi ini bukan cuma soal Paris. Ini soal tempat mereka menuntaskan penantian: Allianz Arena.
Stadion megah milik Bayern Munich ini seperti punya magnet untuk cerita emosional. Setiap kali jadi tuan rumah final Liga Champions, entah kenapa, selalu hadir satu pola: tim yang belum pernah juara... akhirnya juara.
Flashback ke 2012. Di tempat yang sama, Chelsea datang sebagai tim yang tak diunggulkan. Lawannya? Bayern Munich. Di kandangnya sendiri. Tapi sejarah berkata lain. Didier Drogba menyamakan kedudukan di menit akhir, Petr ech jadi tembok hidup, dan adu penalti mengantar The Blues angkat trofi untuk pertama kalinya. Allianz Arena jadi saksi sejarah.
Tiga belas tahun kemudian, PSG mengulang keajaiban yang sama. Bedanya, kali ini mereka bukan mengalahkan tuan rumah---tapi membungkam keraguan dunia. Bukan karena mereka tim terbaik musim ini, tapi karena mereka punya semua yang tak bisa dibeli: kepercayaan, kesetiaan, dan proses yang diam-diam matang.
Tapi cerita tak berhenti di dua final itu saja. Kota Munich seolah punya energi yang sama, bahkan sebelum Allianz berdiri. Di Olympiastadion stadion lama Bayern tiga klub juga meraih trofi pertamanya.
Tahun 1979, Nottingham Forest jadi juara Eropa setelah kalahkan Malm. Tim kecil dari Inggris yang sempat nyaris terdegradasi beberapa tahun sebelumnya.
Tahun 1993, Marseille jadi klub Prancis pertama yang menjuarai Liga Champions, mengalahkan AC Milan yang bertabur bintang.
Tahun 1997, giliran Borussia Dortmund membuat kejutan, membungkam Juventus lewat gol-gol yang tak disangka.
Lima final. Lima juara baru. Semua di kota yang sama.
Munich, entah kenapa, selalu jadi tempat awal bagi mereka yang lama menunggu. Sebuah kota yang menyambut mimpi besar dari klub-klub yang dulu dianggap kecil, lamban, atau tak cukup kuat untuk menjadi juara Eropa.
Mungkin ini cuma kebetulan. Mungkin juga tidak. Tapi satu hal yang pasti: setiap kali klub yang lapar sejarah datang ke Munich... mereka pulang dengan cerita baru.