Mohon tunggu...
Fajar Dwi Ariffandhi
Fajar Dwi Ariffandhi Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Lepas

Hadir kembali di kompasiane tempat belajar nulis sejak 2014

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siapa Yang Punya Cita-cita Jadi Tukang Gali Kubur?

17 Juni 2016   01:59 Diperbarui: 17 Juni 2016   02:44 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

-Keringat-keringat penggali kubur yang jatuh ke tanah menjadi saksi persaudaraan manusia di mata Tuhannya.-

Tanpa komando, warga kampung serentak berkumpul di depan rumah sederhana seorang pahlawan veteran. Tak terhitung berapa kali doa dipanjatkan sanak famili, tetangga, teman semasa hidup, hingga ibu-ibu di pasar yang tak mengenal almarhum pun ikut serta mendoakan ketika mendengar kabar ada warga yang meninggal di desanya. Mulai dari hembusan nafas terakhir sang pahlawan , mulut-mulut yang hidup tak berhenti komat-kamit.

Kami, segerombolan pemuda yang melihat wajah almarhum saja tak pernah, juga larut dalam hiruk- pikuk persiapan pemakaman. Karena tugas kampus untuk mengabdi di desa atau KKN alias Kuliah Kerja Nyantai  Nyata, kami mahasiswa hits mau tidak mau, suka ataupun tidak, harus terjun langsung dan membaur dengan kehidupan masyarakat desa. Tugas kami tidak hanya menjalankan program kerja yang sudah terjadwal rapi, disepakati kelompok, dan direstui dosen pandamping.

Judulnya Kuliah Kerja NYATA, tentu kami harus menghadapi keNYATAan bahwa hidup bermasyarakat tak semudah duduk di bangku kuliah, atau sesekali ngopi pas jam kuliah, urusan absen bisa dititipin. Kebiasaan mbangkong sampai siang harus sesekali dikorbankan untuk urusan sosial.  Tentu saja urusan yang lebih penting dari sekadar nyelengi iler yang tidak laku dijual. Termasuk urusan urgent kali ini, membantu pemakaman.  

Seperti tim sepak bola professional, setiap pemain tahu posisinya masing-masing. Sebagian warga langsung ambil posisi menyerang menuju Tempat Pemakaman Umum (TPU). Dengan tenaga super, ditambah suplemen kopi dan rokok, mereka mencangkul tanah yang sedikit keras karena belum turun hujan, meskipun nantinya saat additional time sempat terjadi “gerimis mengundang.”

Di posisi tengah ada kami, dan mas-mas warga setempat yang mempersiapkan potongan kayu dan batu nisan. Posisi tengah ditempati oleh anggota keluarga dan tetangga yang dengan sangat hati-hati memandikan jenazah. Ada juga Pak Modin yang sudah siap memimpin para jemaah untuk melaksanakan sholat jenazah setelah jenazah dimandikan.

Budaya gotong-royong masih kental di sini, sekalipun saya menyebut desa ini sebagai urban village, karena jaraknya yang tak sampai 10 menit dari pusat kota. Memang tidak semua warga keluar rumah untuk membantu, tapi saya rasa sikap cepat tanggap warga sekitar masih merepresentasikan budaya gotong royong. Bahkan, urusan pemakaman baik biaya gali kubur ataupun sedikit urusan dapur seperti membeli tabung gas, menggunakan dana kas warga.

Manifestasi gotong royong makin terlihat kuat ketika warga silih bergantian memikul keranda jenazah menuju TPU yang jaraknya cukup jauh. Sayapun ikut serta memikul, setelah beberapa langkah  sudah ada bapak-bapak yang menyenggol saya, -isyarat untuk bergantian memikul-. Belajar dari kode tersebut, saya juga menggunakannya untuk memberi isyarat bahwa sudah saatnya saya memikul lagi. Begitu seterusnya, langkah kami tak pernah turun kecepatannya karena rasa lelah enggan melanda.

Sesampainya di pemakaman, ritual dimulai. Jenazah diadzani, doa-doa terus dipanjatkan. Sayapun mendekat ke liang lahat, duduk jongkok, termenung dan terpaku melihat lubang galian yang cukup dalam, kurang lebih 2 meter. Saya menengok para penggali, bajunya kotor, kaki berlumuran tanah. Teringat di desa asal, rutinitas mencangkul tanah sawah. Saya sering mengeluh loro boyok (sakit pinggang). Tak terbayang pinggang-pinggang para penggali ini, menggali tanah sebegitu dalam.    

Salah seorang teman seperjuangan di kontrakan pernah bercerita kalau-kalau di desanya ada kegiatan gali kubur, sebagian tukang gali kubur menenggak minuman beralkohol terlebih dulu. Sayapun seketika memaklumi hal tersebut, karena menggali kubur memang kegiatan yang menguras tenaga. Bagaimanapun pendapat orang melihat perilaku tersebut, saya rasa kita tidak bisa mengesampingkan peran mereka. Apalagi di zaman zekarang, segalanya menggunakan uang. Siapa yang hendak melamar pekerjaan dengan imbalan tak seberapa seperti tukang gali kubur?    

Kami mahasiswa yang sedang ditugaskan mengabdi di desa, memegang gagang cangkul saja enggan. –Tuhan, mengabdi pada desa lebih berat dari pada mengabdi pada warung kopi- Padahal, tanpa adanya tukang gali kubur, bagaimana nasib jenazah-jenazah yang rindu akan Tuhannya. Malaikat juga pasti sudah tak sabar untuk mewawancarai sang jenazah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun