Adiksi adalah ketergantungan atau candu. Lazimnya candu ini disematkan kepada narkoba. Pecandu atau orang teradiksi akan merasa ada yang kurang, gelisah, dan mendapat euforia sesaat. Untuk mengurangi tingkat adiksi atau bahkan menghilangkannya tentu diperlukan rehabilitasi. Namun, tahukah Anda ada adiksi yang terjadi di dunia modern yang tidak semata-mata kepada obat-obatan atau zat adiktif, tetapi adiksi eksistensi.
Adiksi eksistensi adalah kecanduan pada keberadaan di dunia maya. Jumlah suka, bagikan, simpan, dan pelanggan atau pengikut menjadi sumber dari adiksi ini. Jika penurunan terjadi, maka penggunanya akan sakau. Gelisah hebat, tertekan, dan melakukan segala cara untuk bisa mengembalikan kembali euforia. Tidak dapat dimungkiri bahwa jumlah suka atau angka-angka raihan tersebut memiliki relevansi dengan eksistensi, popularitas, dan finansialnya.
Fenomena ini kian jelas ketika banyak orang membuat "konten" yang sudah diatur sedemikian rupa. Misalkan saja ada seseorang yang disakiti pasangannya atau kehilangan pasangan karena meninggal, dibuatlah "konten" dengan beragam takarir yang dramatis ditambahi dengan latar lagu yang mendukung. Jika pengikutnya yang sudah paham ini adalah saluran khusus settingan maka mereka akan memaklumi dan menikmatinya. Namun, kebanyakan tidak, sekongyong-konyong seorang pengguna mengunggah kisah sedih hidupnya dan meraih simpati banyak orang. Namun ternyata itu hanya settingan. Â
Kemudian, ketika jumlahnya turun, dia akan membuat sensasi, entah mengerjai, merisak, atau merusak tatanan norma yang ada. Ketika banyak yang geram, dia akan melakukan klarifikasi. Fenomena ini tidak hanya satu dan terjadi di Indonesia, tetapi muncul berulang-ulang seperti yang banyak dikeluhkan warganet hampir di setiap negara. Kita pun tidak asing dengan komentar "Aduh, sekarang, ya, apa aja dilakuin demi konten!" yang senantiasa menghiasi kiriman tersebut.Â
Marilah kita kembalikan kepada diri sendiri dan jangan-jangan kita adalah salah satu orang yang adiksi eksistensi. Jika dengan jumlah suka, pelanggan, pengikut atau apa pun itu kita merasa wawas diri dan tidak jemawa, maka kita lepas dari fenomena ini. Namun, jika kita sangat khawatir berlebihan akan deklinasi atau penurunan angka dan bahkan membuat konten yang sengaja dibuat untuk semata mendongkrak eksistensi di dunia maya. Terlebih menabrak tatanan norma yang ada, maka kita sebenarnya sudah sakau eksistensi dan perlu mengambil langkah-langkah rehabilitasi.Â