Mohon tunggu...
Faisal yamin
Faisal yamin Mohon Tunggu... Nelayan - Belajar menulis

Seorang gelandangan pikir yang hobi baca tulisan orang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Matahari Itu Telah Terbenam

27 Juni 2021   16:40 Diperbarui: 27 Juni 2021   16:42 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hembusan angin pagi perlahan menampar tubuh, tatkala aku mulai membuka pintu rumah. Dengan cepat hawa dingin lalu mengendus dan menghujami pori kulitku, sungguh dingin dan dingin sekali. Pagi itu masih terlalu dini, jalanan depan rumah masih sunyi. Sementara matahari terlihat seperti masih bersembunyi di balik gunung yang mungkin sudah dalam kondisi menunggu waktu dan siap lepas landas utuk berkelana di lagit bumi.

Di depan rumah kami, ada beberapa petak sawah milik petani dengan padi yang terlihat hijau nun subur. Para petani itu juga membangun rumah kecil di sekitar sawah miliknya sebagai wadah untuk rehat atau juga berbagi kasih dengan istri-istri mereka yang datang membawa nampan berisi makan tatkala hari menjelang siang. Mataku mereba-raba, rupanya belum ada petani yang datang menyalami sawah dan padi mereka. Iya, mungkin masih terlalu pagi atau juga mungkin mereka masih dalam perjalan ke mari.

Sudah menjadi kebiasanku bahwa untuk menyambut hari, aku selalu keluar dan duduk di beranda rumah dengan sebuah buku atau bahan bacaan. Iya, itu adalah cara aku menyalami hari sembari menikmati sajian indah pagi hari yang disugukan bak lukisan alam yang lahir dari tangan seniman besar. 

Tapi pagi masih terlalu indah melebihi semua, sebab dia hadir dari seniman ulung yang mungkin tak bisa dicapai seniman-seniman dunia. Iya, dia adalah Tuhan semesta alam. Sementara perihal membaca di pagi hari bagiku adalah sebuah kenikmatan yang lezat.

"Ini kopinya pak." Ucap Azzahra Istriku, lalu meletakkan kopi dabe di meja.

"Terima kasih Istriku yang terkasih." Sahutku coba merayu.

"Iya, kembali kasihku untukmu suamiku tersayang dan tercinta." Balasnya dengan senyum yang indah dan mempesona menambah corak keindahan pagi itu.

Tak menunggu lama, aku teguk perlahan kopi yang dihidangkan istriku itu sekali kepulan asap masih meruap-meruap keluar dari mulut gelas. Sungguh nikmat takkala cairan hitam itu menyusup masuk ke dalam tenggorokan. "Alangkah piawainya istriku dalam meracik segalanya. Sungguh dia luar biasa." Gumamku pelan.

Perlahan aku buka lembar pertama, dan mulai aku baca narasi apik yang di tulis langsung oleh Ki Hajar Dewantara. Lalu lanjut ke lembar berikutnya dan saraf otakku semakin fokus dan serius melumat setiap narasi dan pemikiran-pemikiran pendidikan yang di tuangnya.

Aku serasa seperti seekor lumbah-lumba yang sedang mengerakan sirip dan ekor menjaga arah dari serbuan arus dan gelombang di laut lepas. Aku semakin larut ke dalam menyalami dan kata demi kata yang di runut menjadi paragraf. Iya, seperti sepasang kekasih yang sedang memadu kasih di puncak gunung dengan komunikasi puitis dan metafora yang dipilih menenduhkan juga menyejuk hati.

Di selah keseriusanku itu, handphoneku tiba-tiba bergetar tepat saat aku sampai di lembar yang ke 80 tepat pada paragraf ke dua dengan narasi yang berbunyi "kita memberi ilmu dan kepandaian pada anak, bertujuan untuk memasakkan kebatinan yaitu halus perasaan serta teguh, tetap dan luhurnya kemauan." Sesaat langsung aku raih handphoneku, di layar tertuli kontak Ibu. Maka dengan cepat aku angkat panggilannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun