Mohon tunggu...
Faisal yamin
Faisal yamin Mohon Tunggu... Nelayan - Belajar menulis

Seorang gelandangan pikir yang hobi baca tulisan orang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arus Balik, Kampus

18 Oktober 2019   05:41 Diperbarui: 18 Oktober 2019   05:57 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepasang mata mengelayut pada gerombolan orang yang masuk dan lalu lalang di bangunan tua itu. Entahlah, apa yang mereka cari, bukankah bangunan itu sudah terlalu tua dan sangat tua sekali.

Adapun dia terlihat baru, hanya pada permukaannya yang selalu dilapisi cat. Padahal temboknya suda lama sekali beradu pada suhu yang tak menentu, panas dingin membuatnya suda lapuk dan keropos.

Lalu apa yang mereka cari? Jika yang dicari adalah kemoderataan, toh juga di dalamnya mereka beradu menampilkan style berlebihan. Lalu apa? Keadilan, semntara di dalamnya juga tak ada keadilan, yang ada hanya unjung gigi menampilkan hal kepemilikan atau otoritas berlebihan.

Dibilang bangunan tua itu saat ini sebagai loaboratorium tempat merekayasa etika moral, di sana tak kelihata batang hidungnya moralitas dan etika. Ada hanya saling memerosotkan satu dan lainya, para mereka yang punya otoritas menampilkan lakon yang tak lebih picik dari depkolektor memeras piutang.

Dibilang sebagai ladang mengetahui seperti apa tumbuhan demokrasi dan pupuknya politik itu, eh tau-tau tumbuhan demokrasi tersebut telah di semprot dengan herbisida round sementara pupuknya telah di sabotase.

Di sana, dibangunan tua itu suda berbalik keadaan, bukan lagi tempat pengetahuan berperoses. Ia jadi pabrik tenanga yang mau serba praktis. Ia jadi tempat orang belanja "keterampilan" kata Leys, dan bangunan tua itu ternyata adalah kampoes.

Kira-kira begitu penggalan cerpen yang ditulis oleh Tadjala. Cerpen itu saya baca dua tahun lalu, ketika dia melihat fungsi kampus mulai berbalik. Kampus hanya tempat merekayasa orang-orang yang siap pakai, mereka di tuntut untuk menajamkan pengetahuan yang oleh Ary Ginanjar ialah pengalakan IQ. Akibatnya mereka sampingkan EQ juga SQ dan berunjung pada produk manusia robot dalam bahasanya Ojhi.

Malam itu, saya mencoba menafsirkan kembali tentang cerpen itu. Dari ruang-ruang yang mulai di kekang oleh mereka yang memiliki otoritas. Saat para gerombolan manusia, atau tepatnya musfir yang berkelana mencari ilmu di cekal oleh prajurit, dan prajurit itu bernama birokrat ulung. Mereka di persulit oleh kondisi dan keadaan yang melampaui batas mereka yang harusnya melayani. Dan semua itu berubah dari yang seharusnya, tapi pelan sekali, lebih tepatnya evolusi dalam bahasa Darwin.

Tetang berubah itu benar, Gunter Grass menulisnya, baginya, siput adalah jalan yang pelan, yang membosankan (kecuali si siput sendiri),tapi bagaimanapun itulah langkah-langka perubahan. Jadi benar setiap perubahan itu terjadi sekalipun pelan tidak mampu di lihat oleh para aktor, sebab hanya akuator dan dalang yang mampu melihat juga orang sekitar. Maka Tajala melihat fungsi kampus beruba dalam kacamata orang sekitar.

"Nak, silahkan minum kopimu" kata Ibu saya sembari menyodorkan secangkir kopi di meja dan membuyar saya dalam berkontemplasi.

"Iya bu, terima kasih atas kasih dan sayangmu" balas saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun