Pemilihan pemimpin selalu menjadi momentum krusial bagi sebuah bangsa. Di Indonesia, setiap siklus pemilu seakan membuka ruang besar untuk harapan dan kekhawatiran. Harapan akan hadirnya sosok yang mampu membawa perubahan, dan kekhawatiran akan terulangnya kepemimpinan yang gagal memahami esensi dasar dari relasi antarmanusia. Dalam situasi sosial yang semakin kompleks, kita perlu meninjau ulang satu aspek yang sering dilupakan dalam diskursus kepemimpinan: human relations.Human Relations dalam Kepemimpinan: Apa dan Mengapa Penting?
Teori human relations lahir dari pemikiran Elton Mayo, yang menekankan bahwa manusia dalam organisasi bukan sekadar alat produksi, tapi individu dengan kebutuhan emosional dan sosial. Dalam konteks kepemimpinan, ini berarti pemimpin yang efektif bukan hanya yang mampu membuat keputusan rasional, tetapi juga yang mampu membangun dan menjaga hubungan interpersonal yang sehat.
Human relations melibatkan empati, komunikasi dua arah, pengakuan terhadap kontribusi, serta kepedulian pada kondisi psikologis pengikutnya. Ini sangat relevan, terutama di negara seperti Indonesia yang secara budaya menjunjung tinggi nilai-nilai kolektivitas dan kehangatan relasi sosial.
Krisis Kepemimpinan Hari Ini: Dekat Secara Digital, Jauh Secara Emosional
Ironisnya, banyak pemimpin hari ini begitu aktif di media sosial, tetapi minim dalam menjalin koneksi emosional yang nyata. Mereka dekat secara digital, tapi jauh secara empatik. Kita bisa melihat bagaimana kampanye politik seringkali dipenuhi jargon teknokratis dan ambisi besar, namun miskin narasi kebersamaan yang membumi.
Ambil contoh kepemimpinan Selandia Baru di bawah Jacinda Ardern saat menghadapi serangan teror di Christchurch. Ia tidak hanya bertindak cepat secara administratif, tetapi juga hadir secara emosional---mengunjungi komunitas Muslim, menyapa dengan hijab, memeluk korban dengan tulus. Ia menjadi simbol human-centered leadership yang menyejukkan, dan kepercayaan publik pun menguat.
Sebaliknya, di Indonesia, respons pemimpin terhadap bencana atau konflik sosial kadang terasa formal, bahkan "dingin", seolah-olah mereka lupa bahwa kepercayaan publik bukan dibangun dari data semata, tetapi dari rasa dipahami dan didengar.
Menuju Kepemimpinan yang Mengakar di Relasi Manusia.
Ke depan, Indonesia tidak hanya membutuhkan pemimpin yang cerdas, tegas, atau visioner, tetapi juga pemimpin yang peka terhadap dimensi relasional. Dalam masyarakat yang mulai jenuh dengan narasi elitis dan bahasa birokrasi, pemimpin yang mampu hadir secara otentik dan empatik akan lebih punya tempat di hati rakyat.
Artinya, kita perlu mendorong lahirnya gaya kepemimpinan yang lebih komunikatif, humanistik, dan berbasis pada pemahaman psikososial masyarakat. Ini bukan kelembekan, tapi bentuk kekuatan baru dalam memimpin.
Dalam suasana pasca-pemilu yang masih menyisakan ketegangan, penting bagi kita sebagai warga negara untuk tidak hanya menilai pemimpin dari "apa yang mereka janjikan", tetapi juga "bagaimana mereka membangun relasi". Karena dalam dunia yang rapuh, kepemimpinan yang kuat justru lahir dari kedekatan dan empati---bukan dari jarak dan formalitas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI