Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengintip Catatan Kuno Demografi Indonesia pada Masa Kerajaan

10 Juli 2019   15:56 Diperbarui: 10 Juli 2019   16:10 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 11 Juli merupakan Hari Populasi Sedunia yang menjadi agenda tahunan Program Pembangunan PBB, tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran mengenai kondisi kependudukan dunia. Hal ini terinspirasi dari ketakjuban para pemimpin bangsa-bangsa akan fakta bahwa pada tanggal 11 Juli 1987 penduduk dunia telah menembus angka 5 milyar jiwa.

Dalam catatan sejarawan Australia, Anthony Reid, ternyata telah banyak ditemukan dokumen-dokumen sejarah kuno yang dituliskan oleh akademisi lokal atau penjelajah asing yang menggambarkan demografi kependudukan kerajaan-kerajaan penting di Indonesia pada masa kuno.

Di antara tulisan akademisi lokal yang terkenal adalah Bustatus Salatin, kitab kuno ini ditulis dengan aksara Arab Melayu pada tahun 1047 H atau 1637 M oleh Nuruddin Ar-Raniri atas perintah Sultan Iskandar Tsani yang memerintah Aceh kala itu. Lalu terdapat pula Sulalatus Salatin (Silsilah Raja-raja) atau yang dikenal juga sebagai Babad Tanah Melayu, konon kitab ini ditulis lebih awal yaitu pada abad ke-XVI. Ada juga Babad Tanah Jawa yang ditulis dengan aksara Jawa yang versi tertuanya ditulis pada tahun 1700an Masehi.

Tak dapat dipungkiri, dokumen sejarah yang disponsori para penguasa kerajaan di masa lampau tersebut terkadang terkesan terlalu membanggakan kebesaran kerajaannya dengan bahasa-bahasa hiperbola. Sehingga memancing seorang sejawaran Perancis, Gervaise (1688), menggaris bawahi pernyataan seorang duta besar Kerajaan Golkonda dari India Selatan ke Ayutthaya, dikabarkannya bahwa sang duta besar melecehkan kekuatan Raja Siam kendati wilayahnya lebih luas dari Golkonda, katanya: "Raja Golkonda menguasai rakyat, Raja Siam hanya menguasai rimba dan nyamuk".

Menurut catatan Anthony Reid, kepadatan penduduk Asia Tenggara pada tahun 1600 secara rerata adalah 5,5 jiwa tiap kilometer persegi, sedangkan rata-rata di Asia Selatan sebesar 32 jiwa dan Kekaisaran Tiongkok sebesar 37 jiwa per kilometer persegi. Bahkan kepadatan penduduk Eropa saat itu diperkirakan sudah mencapai dua kali lipat Asia Selatan.

Peperangan atau persaingan politik antar penguasa feodal diyakini merupaka faktor utama yang membuat rendahnya pertumbuhan penduduk di Asia Tenggara, tentunya juga di wilayah Indonesia kini tanpa terkecuali.

Sejarawan Ibnu Khaldun (w. 1406 M) menekankan bahwa penting bagi setiap penguasa feodal untuk menciptakan suasana kondusif bagi keluarga dan pendukungnya agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan reproduksi serta pendidikan bagi penduduknya. Kedua hal tersebut harus didahulukan dari pada yang lainnya, karena menurutnya militer yang kuat adalah hasil dari bagusnya kualitas kesehatan dan pendidikan, terlebih lagi bagi para ibu dan anak.

Dan ternyata orang dulu punya cara tersendiri yang cukup unik dalam menggambarkan kualitas kependudukan suatu wilayah, berikut di antara gambaran penduduk di kerajaan-kerajaan kuno nusantara yang berhasil dirangkum:

  • Pasai (tahun 1512 M), memiliki 3.000 penjaga kota;
  • Gresik (tahun 1512 M), memiliki 30.000 jago berkelahi, 7.000 laki-laki (kemungkinan dimaksud adalah bangsawan) dan 10.000 rumah;
  • Demak (tahun 1522 M), terdapat 20.000 rumah;
  • Tuban (tahun 1600 M), memiliki 32.000 jago berkelahi;
  • Jakarta (tahun 1606 M), memiliki 4.000 jago berkelahi;
  • Makasar (tahun 1615 M), memiliki 16.000 jago berkelahi;
  • Banda Aceh (tahun 1621 M), memiliki 40.000 jago berkelahi;
  • Kesultanan Mataram (tahun 1624 M), memiliki 200.000 jago berkelahi;
  • Banten (tahun 1674 M), memiliki 200.000 jago berkelahi;
  • Pagaruyung (tahun 1684 M), terdapat 8.000 orang di istana raja.

Demikianlah ternyata diantara cara orang-orang terdahulu dalam menggambarkan demografi kekuasaannya secara lebih realistis, disamping juga gemar menuliskan syair-syair hiperbola yang menggambarkan para raja bertahta di atas singgasana berlapis emas dan mutiara. Alih-alih menggunakan ukuran seperti angka melek huruf dan tingkat pendidikan, ternyata standar statistik mereka lebih sederhana namun tetap bermakna.

Jumlah jago berkelahi sangat menentukan perkiraan jumlah penduduk serta menggambarkan kualitas kesehatan dan pendidikan kerajaan atau kota itu pada masanya. Dapat dibayangkan bahwa setidaknya setiap sepuluh orang jago berkelahi akan membutuhkan 1 orang pandai besi, 1 orang tabib, dan 1 orang petani/peternak. Demikian juga perbandingan yang rasional untuk kebutuhan akan petugas pemungut upeti dan bangsawan yang bertugas menjadi panglima pasukan.

Berdasarkan besar kecilnya jumlah jago berkelahi, maka akan berbanding lurus dengan luas kekuasaan kerajaan. Kekuasan yang luas berasal dari harta penghasilan kerajaan. Agar suatu kerajaan menjadi kaya, maka semakin dibutuhkan kepiawaian sang raja dan para menterinya dalam mengelola administrasi kerajaan. Pengelolaan administrasi kerajaan akan baik bila kualitas pendidikan dan kesehatannya telah baik pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun