Mohon tunggu...
Ahmad Fahrizal Aziz
Ahmad Fahrizal Aziz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Blogger

Sekretaris GPMB Kab. Blitar, blog pribadi klik www.jurnalrasa.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Generasi dari Rezim Pistol dan Senapan

30 Mei 2016   20:36 Diperbarui: 30 Mei 2016   20:52 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generasi dari Rezim Pistol dan Senapan

Bung Karni Ilyas sering menggunakan quotes para tokoh ketika membawakan acara ILC (Indonesia Lawyer Club), namun ada statement atau bisa juga disebut quote darinya yang patut direnungkan ketika ILC minggu lalu, yang membahas tentang gelar Pahlawan untuk Mantan Presiden Soeharto. Quote itu kurang lebih begini : Pada rezim otoriter, ahli tata negara tidak begitu dibutuhkan, karena kekuasaan tergantung apa kata rezim.

Rezim otoriter adalah rezim pistol dan senjata. Mereka yang bekuasa, benar-benar punya power yang kuat. Mereka yang tak berkuasa, andai pada akhirnya mengkritik, hidupnya dalam bayang-bayang rezim. Apakah akan dibiarkan untuk bersuara, atau akan dihabisi. Inilah moment penuh kekalutan. Generasi kebal kritik, dan generasi was-was.

Namun generasi was-was pada akhirnya juga melahirkan orang-orang pemberani, yang tidak lagi takut berkonflik. Jangankan hanya sekedar argumentasi, jika terlalu kritis, nyawa menjadi taruhannya.

Belakangan ini, jika kita melihat konflik dari ‘orang-orang lama’, dari rezim sebelum 98 atau reformasi, memang melahirkan nuansa tersendiri. Ada tokoh yang dulu menjadi bagian dari kekuasaan, yang merasa bahwa dirinya masih memiliki power sebagaimana dulu. Ada pula sebaliknya, orang-orang yang terbiasa berkonflik dengan rezim adikuasa, yang sudah lama memasrahkan nyawanya. Tidak ada ketakutan dari keduanya. Sejak dulu, apalagi ketika rezim berganti.

Sekarang kita memang berada pada rezim yang berbeda. Pemimpin dipilih secara demokratis. Kebebasan berpendapat pun telah dibuka. Tidak lagi berada pada rezim yang menjadikan pistol dan senapan sebagai alat untuk membungkam. Inilah rezim yang siapapun bisa menembak, dengan peluru argumentasi.

Untuk itu, intelektualitas begitu dihargai. Opini para pakar dan akademisi, menjadi masukan konstruktif. Kritik, setajam apapun, menjadi ruang koreksi. Tidak ada lagi yang dibungkam atau dibumi hanguskan dengan pistol dan senapan. Tidak ada lagi sniper yang tiba-tiba menghabisi nyawa orator jalanan, tidak ada lagi yang diculik karena membuat puisi kritik.

Ini adalah zaman peradaban logika. Bukan kepongahan senjata. Zaman dimana orang bisa saling berperang tanpa membunuh satu sama lain, karena perangnya dengan argumentasi, bukan senjata. Maka konflik sekeras apapun, selama didasarkan pada rasionalitas dan data, akan menyehatkan pikiran banyak orang. Namun ditengah konflik cerdas yang berkembang, tak sedikit juga bertebaran fitnah dan hoax, yang membuat fikiran masyarakat pun menjadi kurang sehat.

Hanya memang, generasi reformasi masih sangat belia. Mereka yang lahir tahun 1998 masih berusia belasan. Mereka generasi yang tidak pernah bersinggungan dengan rezim pistol dan senjata. Generasi yang mungkin saja memandang realitas dengan lebih jernih. Masa depan bangsa Indonesia bertumpu pada generasi ini. Maka generasi ini jangan sampai mewarisi konflik sejarah. Cukup mewarisi informasi tentang sejarah, beserta hitam putihnya. (*)

Blitar, 29 Mei 2016

A Fahrizal Aziz

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun