Mohon tunggu...
Fahmi Widianto
Fahmi Widianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

suka diskusi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Sosial Budaya: Membendung Lahirnya Kesetaraan Gender?

11 Oktober 2023   08:22 Diperbarui: 11 Oktober 2023   10:24 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kesetaraan Gender, sebuah gagasan yang sangat penting dan harus dipahami oleh semua orang. Kesetaraan Gender berkaitan dengan pemberian kebebasan yang setara kepada masyarakat, baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Sebab tidak ada penjelasan yang bagus untuk memisahkan kegiatan ataupun tanggung jawab berdasarkan gender mereka. Selagi yang bersangkutan bersedia dengan apa yang ia pertanggung jawabkan itu hal bagus untuk memberikan ruang kesetaraan gender.

Kesetaraan gender bukan hanya tentang memberikan pintu terbuka yang setara, namun juga menghilangkan segregasi dan generalisasi yang merugikan mengenai pekerjaan dan kapasitas manusia. Hal ini penting agar masyarakat dapat memahami peran kesetaraan yang dapat menumbuhkan kehidupan yang layak dan bahagia.

Akan tetapi masih banyak unsur-unsur sosial budaya yang kerap kali menjadi faktor penghambat untuk mengimplementasikan kesetaraan gender. Tentunya hal ini yang menjadi tembok tinggi dalam implementasi kesetaraan gender. Seperti contohnya di Budaya Jawa yang mana perempuan dalam budaya masyarakat Jawa, didudukkan dan diperankan sebagai keluarga dan masyarakat. Dalam rumah tangga, perempuan Jawa biasanya dituntut untuk melakukan 3 M, yaitu: Macak, Manak, dan Masak (Sayyidah Nafisah, 2016). Budaya semacam ini masih kerap berlaku dan terus turun-menurun kepada anak perempuan ataupun ke menantu perempuan.

Penekanan terhadap perempuan dari budaya semacam ini bisa digolongkan sebagai bentuk dari perhambatan kesetaraan gender. Namun, hal ini juga tidak selalu diimplementasikan oleh masyarakat Jawa. Hanya beberapa masyarakat Jawa saja yang masih mengimplentasikan budaya semacam ini kepada anak perempuannya ataupun kepada menantu perempuannya.

Hal ini terjadi sebab masyarakat Jawa menanggap tokoh laki-laki sebagai pekerja publik (di luar rumah) sedangakan perempuan dikonsepkan sebagai pekerja domestik (di dalam rumah tangga). Perempuan di dalam masyarakat Jawa dikenal dengan istilah "konco wingking" atau seorang istri.

Cara mendidik anak perempuan dari masyarakat Jawa inipun bisa dikatakan mempersempit dunia anak itu sendiri. Semacam tidak diperbolehkan keluar rumah, selalu diharuskan untuk berurusan dengan dapur, sumur dan kasur. Memang hal itu baik untuk mendorong karakter mandiri dari anak perempuan itu sendiri. Namun hal ini ditentang oleh R.A Kartini pada saat itu. R.A Kartini adalah seorang emansipasi perempuan Indonesia, sebab beliau mengaggap bahwa hal semacam itu dapat menghambat pendidikan perempuan ke jenjang yang lebih tinggi.

Di sisi lain, ketimpangan gender inilah yang terfokus pada peran dan kedudukan perempuan di budaya Jawa. Sebab peran dan kedudukan perempuan Jawa tidak boleh terlepas dari kegiatan-kegiatan yang ada dirumah. 

Peran dan kedudukan itu sendiri antara lain sebagai;

1. Sebagai anak Perempuan atau Menantu
Kewajiban anak perempuan sebelum menikah ialah berbakti kepada orang tua, lalu setelah menikah anak perempuan tersebut mengabdi kepada mertua sebagai menantu.

2. Sebagai Istri
Apabila anak perempuan telah menjalankan prosesi pernikahan maka status anak perempuan disitu beralih menjadi seorang istri. Beda dengan anak perempuan yang awalnya diwajibkan untuk berbakti dengan orang tua. Kedudukan sebagai istri ditetapkan sebagai pihak yang harus berbakti kepada suami dan harus melayani, dihormati serta ditaati

3. Sebagai seorang Ibu
Apabila sudah menikah, maka perempuan tidak hanya sebagai istri, akan tetapi juga harus siap menjadi sosok ibu dari anak-anaknya.
Lalu bagaimana dengan konsep kedudukan dan peran laki-laki? Tentunya orang tua dalam mendidik anak laki-laki, masyarakat Jawa justru lebih memprioritaskan anak laki-lakinya dalam segi pendidikan dibanding anak perempuannya. Namun hal ini merupakan bentuk kondisional, dengan melihat latar belakang ekonomi dari keluarga tersebut. Apabila berkecukupan maka anak laki-laki dan perempuan mendapatkan hak yang sama. Akan tetapi, apabila latar belakang ekonomi keluarga bisa dikatakan kurang mampu, maka laki-laki yang berhak mendapatkan pendidikan tinggi. Sebab masyarakat Jawa dahulu mengatakan "Anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya akan kembali ke dapur juga."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun