“The supreme art of war is to subdue the enemy without fighting.” -Sun Tzu, The Art of War
Pepatah mengatakan, di mana ada gula, di situ ada semut, di mana ada sumber daya alam (SDA) pasti akan banyak pihak yang berebut. Hal ini sangat terlihat jelas di Laut Cina Selatan, sebuah wilayah yang menjadi titik panas konflik geopolitik. Setidaknya terdapat tiga alasan utama mengapa Laut Cina Selatan diperebutkan oleh banyak negara [1]. Pertama, wilayah ini kaya akan sumber daya alam, kekayaan laut, termasuk minyak dan gas bumi di dalamnya. Terdapat lebih dari 10 cekungan minyak dan gas yang diketahui di Laut Cina Selatan, dengan luas total 852.400 km persegi, mencakup 48,8% dari seluruh luas landas kontinen di Laut Cina Selatan [2]. Kedua, Laut Cina Selatan merupakan jalur perlintasan kapal internasional yang sangat strategis, di mana sekitar sepertiga dari total lalu lintas maritim dunia melewati wilayah ini [2], [3]. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang pesat di Asia, terutama di negara-negara berkembang, sangat kontras dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat di Eropa dan Amerika [1]. Dalam konflik ini, aktor-aktor besar seperti Cina dan Amerika Serikat memainkan peran utama. Namun, negara-negara yang terdampak langsung oleh ketegangan ini termasuk Indonesia, Malaysia, Taiwan, Cina, Filipina, dan Brunei Darussalam [1]. Dalam usahanya untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan, Cina telah melakukan berbagai langkah strategis. Selain membangun pulau-pulau buatan dan memperkuat militer di kawasan tersebut, Cina juga gencar melakukan operasi siber untuk mempengaruhi opini publik dan pemerintah di seluruh dunia [4]. Tulisan ini akan membahas secara khusus tentang apa saja yang telah dilakukan Cina dalam ranah pengaruh siber (cyber influence), mengeksplorasi strategi-strategi yang digunakan serta dampaknya terhadap dinamika geopolitik di Laut Cina Selatan.
Definisi Cyber Influence Operation (CIO)
Cyber Influence Operation atau dalam bahasa Indonesia disebut Operasi pengaruh dunia maya dapat didefinisikan sebagai upaya terfokus dalam memahami dan melibatkan target utama untuk menciptakan, memperkuat, atau memelihara kondisi yang menguntungkan demi memajukan kepentingan, kebijakan, dan tujuan, melalui penggunaan program, rencana, tema, pesan, dan tujuan yang terkoordinasi [5]. Sederhananya, operasi pengaruh dunia maya menciptakan komunikasi dan interaksi dengan tujuan mempengaruhi target sasaran untuk mengubah opini dan/atau perilaku mereka.
Dalam menyebarluaskan pengaruhnya, Cina menggunakan dua strategi utama yang sangat efektif. Pertama, konsep "The United Front" yang merupakan aliansi antara Partai Komunis dan Partai Nasionalis untuk melawan yang disebut “musuh bersama” [5]. Konsep ini tidak hanya digunakan dalam konteks militer, tetapi juga untuk memperluas pengaruh politik dan ideologi di berbagai negara. Kedua, strategi "Three Warfares" yang terdiri dari psychological warfare, public opinion warfare, dan legal warfare [6].
Tiga dimensi ini secara simultan bekerja untuk mempengaruhi keputusan musuh, membentuk opini publik, dan menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi Cina. Melalui psychological warfare, Cina berusaha merusak moral dan semangat lawan. Public opinion warfare digunakan untuk memanipulasi persepsi global terhadap kebijakan dan tindakan Cina, dan legal warfare diterapkan untuk memanfaatkan hukum internasional demi melegitimasi klaim dan tindakan mereka. Dengan kombinasi strategi ini, Cina berhasil memperkuat posisinya di panggung internasional, khususnya dalam konflik Laut Cina Selatan.
Mengidentifikasi Cyber Influence Operation (CIO) Cina di Laut Cina Selatan
Setidaknya ada enam indikator untuk mengidentifikasi sebuah CIO [7]:
Penggunaan avatar, bot, dan troll.
Dalam operasi pengaruh siber terkait Laut Cina Selatan, Cina secara efektif menggunakan avatar, bot, dan troll untuk mempromosikan narasi pro-Cina dan mempengaruhi opini publik internasional. Avatar adalah identitas virtual yang dikendalikan oleh operator Cina untuk menyembunyikan identitas asli mereka, sementara bot adalah agen otomatis yang dapat menghasilkan respon dan konten dengan cepat untuk memperkuat pesan tertentu. Disisi lain, Troll adalah individu atau grup yang secara aktif terlibat dalam menyebarkan disinformasi dan propaganda untuk mengganggu diskusi online dan menekan suara-suara kritis.
Salah satu contoh Influence campaign yang signifikan adalah "Shadow Play", yang diungkap oleh Australian Strategic Policy Institute (ASPI) [8]. Kampanye ini menggunakan avatar berbasis AI (Artificial Intelligent) untuk memproduksi video di YouTube yang mempromosikan narasi bahwa Cina unggul dalam persaingan teknologi global dan geopolitik [9].
Bot dan Troll sering digunakan untuk memperbesar jangkauan dan dampak dari kampanye ini dengan cara retweet, like, dan komentar yang mendukung konten tersebut, sehingga menciptakan ilusi dukungan yang luas dan mengarahkan opini publik ke arah yang diinginkan oleh Cina. Dengan menggunakan teknik ini, Cina tidak hanya mempromosikan kepentingannya di Laut Cina Selatan, tetapi juga berusaha mendiskreditkan negara-negara yang menentang klaim teritorialnya di kawasan tersebut. Kampanye semacam ini menunjukkan betapa canggihnya operasi pengaruh siber yang dijalankan Cina dan bagaimana mereka dapat menyusupi diskusi global melalui manipulasi media sosial.
Penerbitan postingan dan berita berdasarkan kejadian atau informasi dari luar negeri.
Dalam operasi pengaruh siber terkait Laut Cina Selatan, Cina secara aktif menerbitkan postingan dan berita yang didasarkan pada faktor-faktor dari luar negeri untuk mempromosikan klaim teritorialnya.
Salah satu contoh operasi pengaruh siber Cina adalah publikasi artikel dan berita di situs web dan media sosial yang dikelola oleh pihak luar negeri. Konten ini sering kali dikemas dengan narasi yang menguntungkan Cina, seperti menekankan klaim maritim historis Cina di Laut Cina Selatan, mengkritik negara-negara pengklaim saingan atas aktivitas mereka di wilayah tersebut, dan memuji proyek infrastruktur Belt and Road Initiative (BRI) Cina di Laut Cina Selatan [10]. Operasi pengaruh siber ini dilakukan dengan cerdik, dengan menggunakan situs web dan media sosial yang tampaknya tidak berafiliasi dengan Cina. Hal ini bertujuan untuk mengelabui pembaca dan membuat mereka percaya bahwa informasi yang mereka konsumsi adalah objektif dan netral.
Penerbitan berita palsu.
Menurut laporan dari Newsguardtech, sebuah organisasi yang menilai kredibilitas media, Cina telah membangun jaringan situs web dan akun media sosial palsu yang digunakan untuk menyebarkan berita palsu dan disinformasi tentang Laut Cina Selatan.
Pemerintah Cina memalsukan satu dari setiap 178 postingan media sosial. Komentar dan kampanye difokuskan dan diarahkan pada isu-isu tertentu [11]. Operasi pengaruh media sosial dalam negeri berfokus terutama pada ‘cheerleading’ atau menyajikan atau memajukan narasi positif tentang negara Tiongkok.
Pada tahun 2020, sebuah artikel yang beredar di media sosial Cina mengklaim bahwa seorang nelayan Filipina telah mengakui kedaulatan Cina atas Kepulauan Spratly. Artikel ini kemungkinan besar dibuat-buat untuk mendukung klaim maritim Cina di Laut Cina Selatan. Klaim ini telah dibantah oleh pemerintah Filipina dan tidak ada bukti yang mendukungnya [12]. Selain itu, pada tahun yang sama terdapat narasi “Kapal Perang Indonesia Diusir Paksa oleh Coast Guard Cina di dekat Kepulauan Natuna” [13]. Narasi ini mengklaim bahwa kapal perang Indonesia telah diusir dengan cara yang agresif oleh Penjaga Pantai Cina di dekat Kepulauan Natuna, wilayah yang diklaim oleh Indonesia. Cerita ini mungkin dibumbui dengan rincian yang sensasional dan rekaman video yang diedit untuk terlihat meyakinkan. Tujuannya adalah untuk memicu sentimen anti-Cina di Indonesia dan merusak hubungan bilateral Pada tahun 2021, sebuah video yang beredar di internet menunjukkan armada kapal perang Cina yang besar berpatroli di Laut Cina Selatan. Video tersebut diklaim sebagai bukti kekuatan militer Cina di kawasan tersebut. Video tersebut kemungkinan dimanipulasi. Analisis ahli menunjukkan bahwa beberapa kapal dalam video tersebut sebenarnya adalah kapal yang sama yang direkam dari sudut yang berbeda [14]. Pada tahun 2022, sebuah artikel di surat kabar Cina menuduh bahwasanya Vietnam melakukan kegiatan penangkapan ikan ilegal di perairan Cina. Artikel ini kemungkinan bertujuan untuk mendiskreditkan Vietnam dan memicu ketegangan di Laut Cina Selatan. Vietnam telah membantah tuduhan tersebut dan menunjukkan bukti bahwa mereka beroperasi di wilayah perairan mereka sendiri [15].
Penerbitan konten besar-besaran tentang topik tertentu.
Salah satu strategi yang digunakan Cina dalam Operasi Pengaruh Siber di Laut Cina Selatan adalah dengan menerbitkan konten besar-besaran tentang topik tertentu. Hal ini bertujuan untuk membanjiri ruang informasi dengan narasi yang menguntungkan Cina, memanipulasi opini publik, dan mengaburkan fakta.
Pada tahun 2020, Cina meluncurkan kampanye di sosial media dengan hashtag #南海主权不容侵犯 (Kedaulatan Laut Cina Selatan Tidak Boleh Dilanggar) di media sosial. Kampanye ini diiringi dengan postingan massal dari akun-akun resmi Cina, media pemerintah, dan netizen yang mendukung klaim maritim Cina di Laut Cina Selatan [16]. Kampanye hashtag ini bertujuan untuk memicu sentimen nasionalis di Cina dan menunjukkan dukungan luas terhadap klaim maritimnya.
Selain itu, Cina memproduksi dan menyebarkan konten propaganda dalam jumlah besar untuk mempromosikan narasinya tentang Laut Cina Selatan. Konten ini dapat berupa artikel berita, video, gambar, dan infografis yang menggambarkan Cina sebagai negara maritim yang damai dan bertanggung jawab [17]. Konten propaganda ini bertujuan untuk memanipulasi opini publik dan menjustifikasi klaim maritim Cina.
Perubahan opini publik secara mendadak.
Cina dikenal gencar melancarkan Operasi Pengaruh Siber di Laut Cina Selatan, salah satu strateginya adalah dengan memicu perubahan opini publik mendadak untuk mendukung narasi dan kepentingannya di wilayah tersebut. Perubahan opini mendadak ini bertujuan untuk memanipulasi persepsi publik dengan cepat dan drastis, biasanya melalui penyebaran informasi yang salah, propaganda, dan kampanye media sosial yang terkoordinasi [18].
Penelitian terbaru mengungkapkan adanya peningkatan tajam dalam jumlah artikel dan komentar di media sosial yang mendukung posisi Tiongkok di Laut Cina Selatan[19]. Banyak dari konten ini berasal dari akun-akun yang dicurigai sebagai bot atau profil palsu yang dioperasikan oleh agen-agen Cina. Misalnya, pada September 2022, Facebook menghapus jaringan akun-akun palsu yang beroperasi dari Tiongkok dan menyebarkan informasi yang mendukung kebijakan Tiongkok, terutama menargetkan pengguna di Filipina dan Amerika Serikat [20].
Publikasi frasa-frasa negatif.
Untuk mencapai perubahan opini publik yang cepat dan efektif dalam kelompok atau forum yang relevan, frasa yang sangat negatif dapat digunakan dan mungkin mengindikasikan adanya influence operation.
Contoh dari taktik ini adalah kampanye disinformasi "Operation Naval Gazing" yang diluncurkan di Filipina. Kampanye ini melibatkan penyebaran konten yang sangat negatif dan menyesatkan melalui media sosial untuk mendiskreditkan kebijakan Amerika Serikat dan mempromosikan narasi pro-Cina di wilayah tersebut [21]. Misalnya, akun-akun yang terlibat dalam kampanye ini sering kali mempublikasikan frasa-frasa radikal yang mengecam kehadiran militer Amerika Serikat di Laut Cina Selatan dan memuji klaim teritorial Cina yang kontroversial. Kampanye ini berhasil mendapatkan banyak perhatian dan interaksi digital, memperlihatkan efektivitas strategi siber Cina dalam mempengaruhi opini publik dan memperlemah aliansi antara Filipina dan Amerika Serikat.
Refleksi Akhir: Menghadapi Ancaman Siber Cina demi Kedaulatan Wilayah Laut Cina Selatan
Cina telah melakukan berbagai taktik dalam Cyber Influence Operation untuk memperkuat posisinya di Laut Cina Selatan dengan memanfaatkan avatar, bot, dan troll untuk menyebarkan propaganda pro-Cina dan mendiskreditkan lawan-lawannya. Mereka juga menerbitkan postingan dan berita berdasarkan informasi dari luar negeri yang seringkali dimanipulasi, serta menyebarkan berita palsu untuk menyesatkan opini publik. Penerbitan konten besar-besaran tentang topik tertentu bertujuan untuk mendominasi diskusi online, sementara perubahan opini publik secara mendadak dicapai melalui kampanye disinformasi yang terencana. Selain itu, publikasi frasa-frasa negatif digunakan untuk merusak reputasi negara-negara yang menentang klaim Cina di Laut Cina Selatan. Strategi-strategi ini tidak hanya mempengaruhi dinamika geopolitik di wilayah tersebut, tetapi juga menyoroti pentingnya kesadaran dan ketahanan siber.
Indonesia terus memperkuat pertahanannya di Laut Cina Selatan dengan berbagai langkah strategis, khususnya dalam ranah siber. Kementerian Pertahanan (Kemhan) telah mengadopsi sejumlah inisiatif penting untuk mempertahankan kedaulatan siber negara ini [22]. Sebagai bagian dari upaya ini, Kemhan berkolaborasi erat dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk mengembangkan rencana kontingensi krisis siber dan mengadakan simulasi secara berkala. Termasuk dalam kolaborasi ini adalah deteksi sinyal di wilayah perairan Laut Cina Selatan, yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan menanggulangi ancaman siber yang berasal dari aktivitas maritim. Dengan strategi yang telah dilakukan Indonesia serta pemahaman tentang strategi Cina, diharapkan mampu menghadapi dinamika siber dengan lebih adaptif dan inovatif, melindungi kedaulatan wilayahnya di tengah tantangan geopolitik yang semakin kompleks di Laut Cina Selatan.
REFERENSI:
[1] R. Roza, P. P. Nainggolan, S. V. Muhamad, and Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat. Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, “Konflik Laut China Selatan dan implikasinya terhadap kawasan,” p. 148, 2013.
[2] S. Hao, “Territorial Issues in Asia Drivers , Instruments , Ways Forward Session II: Resources (Energy, Fishing) and Maritime Law,” 7 th Berlin Conference on Asian Security ( BCAS ), pp. 1–11, 2013.
[3] A. T. Alamsyah, “Reklamasi, Pulau Buatan dan Pengelolaan Ruang Maritim,” Maritime Talk, 2016.
[4] P. Mallick, China’s Cyber-Influence Operations, no. May. 2021.
[5] P. Charon and J. Baptiste, Chinese Influence Operation : A Machiavellian Moment. 2021.
[6] B. M. Clarke, “China’s Application of the ‘Three Warfares’ in the South China Sea and Xinjiang,” Orbis, vol. 63, no. 2, pp. 187–208, 2019, doi: 10.1016/j.orbis.2019.02.007.
[7] D. Tayouri, “The Secret War of Cyber: Influence Operations and How to Identify Them,” Cyber, Intelligence, and Security, vol. 4, no. 1, pp. 3–20, 2020.
[8] J. Keast, “Shadow Play: a pro-China and anti-US influence operation thrives on YouTube.” [Online]. Available: https://www.aspistrategist.org.au/shadow-play-a-pro-china-and-anti-us-influence-operation-thrives-on-youtube/
[9] A. Zhang and T. Hoja, “China’s information operations are silencing and influencing global audiences on Xinjiang.” [Online]. Available: https://www.aspistrategist.org.au/chinas-information-operations-are-silencing-and-influencing-global-audiences-on-xinjiang/
[10] Insikt, “Chinese State-Sponsored Cyber Espionage Activity Supports Expansion of Regional Power and Influence in Southeast Asia.pdf.” 2021.
[11] G. King, J. Pan, and M. E. Roberts, “How the Chinese government fabricates social media posts for strategic distraction, not engaged argument,” American Political Science Review, vol. 111, no. 3, pp. 484–501, 2017, doi: 10.1017/S0003055417000144.
[12] J. Lazaro, “Chinese Navy ship aids injured Filipino fisherman in Spratlys.” [Online]. Available: https://globalnation.inquirer.net/219685/chinese-navy-ship-aids-injured-filipino-fisherman-in-spratlys
[13] N. P. Putra, “HEADLINE: Klaim Sepihak China di Perairan Natuna, Bagaimana Solusi Penyelesaiannya?” [Online]. Available: https://www.liputan6.com/news/read/4150036/headline-klaim-sepihak-china-di-perairan-natuna-bagaimana-solusi-penyelesaiannya
[14] E. Lopez, “Over the South China Sea, dispute simmers via radios and rhetoric.” [Online]. Available: https://www.reuters.com/world/asia-pacific/over-south-china-sea-dispute-simmers-via-radios-rhetoric-2023-03-10/
[15] V. Anh, “Vietnam rejects false Chinese media report of armed fishing boats.” [Online]. Available: https://e.vnexpress.net/news/news/vietnam-rejects-false-chinese-media-report-of-armed-fishing-boats-4418876.html
[16] Reuters, “U.S. accuses China of increased South China Sea ‘provocations.’” [Online]. Available: https://www.reuters.com/world/china/us-accuses-china-increased-south-china-sea-provocations-2022-07-26/
[17] M. E. O’Hanlon, “Don’t be provoked: China and the United States in the South China Sea.” [Online]. Available: https://www.brookings.edu/articles/dont-be-provoked-china-and-the-united-states-in-the-south-china-sea/
[18] D. Susilo and C. C. G. Dizon, “FRAMING ANALYSIS OF CHINA’S RELATIONSHIP ABOUT THE SOUTH CHINA SEA DISPUTE ON CHANNEL NEWS ASIA,” vol. 3, no. 10, pp. 964–973, 2023.
[19] Yang Jianli and Monaco Nick, “Why the US Must Take China’s Disinformation Operations Seriously.” Accessed: May 21, 2024. [Online]. Available: https://thediplomat.com/2022/01/why-the-us-must-take-chinas-disinformation-operations-seriously/
[20] Nimmo Ben, “Removing Coordinated Inauthentic Behavior From China and Russia.” Accessed: May 21, 2024. [Online]. Available: https://about.fb.com/news/2022/09/removing-coordinated-inauthentic-behavior-from-china-and-russia/
[21] Nimmo Ben, Eib C.Shawn, and Ronzaud Lea, “Operation Naval Gazing : Facebook Takes Down Inauthentic Chinese Network,” 2020.
[22] Kemhan, “CSIRT Kemhan Diharapkan Dapat Mengidentifikasi, Melindungi, Mendeteksi, Merespon Insiden Serangan Siber Secara Cepat dan Optimal.” Accessed: May 22, 2024. [Online]. Available: https://www.kemhan.go.id/2021/12/08/csirt-kemhan-diharapkan-dapat-mengidentifikasi-melindungi-mendeteksi-merespon-insiden-serangan-siber-secara-cepat-dan-optimal.html
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI