Mohon tunggu...
BAMUSWARI
BAMUSWARI Mohon Tunggu... Balai Musyawarah Indonesia

BAMUSWARI (Balai Musyawarah Indonesia) adalah NGO yang berkomitmen memperkuat demokrasi, keadilan hukum, pelestarian kebudayaan, dan pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bebegig, Nyangku, dan Karakter Kebudayaan Panjalu

4 Agustus 2025   18:10 Diperbarui: 4 Agustus 2025   18:10 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bebegig Sukamantri, Panjalu

Desa Panjalu, sebuah nama yang mungkin tak sepopuler Yogyakarta atau Bali, namun menyimpan denyut budaya yang masih hidup dan bergerak. Terletak di Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, desa ini menjadi saksi hidup bagaimana masyarakat merawat warisan leluhur dalam balutan upacara adat yang kuat dan spiritual: Nyangku.

Nyangku bukan sekadar seremoni. Ia adalah ingatan kolektif, doa yang dilantunkan dalam bentuk tindakan, dan bentuk penghormatan pada sejarah serta nilai-nilai yang diwariskan oleh para leluhur. Tradisi ini dilangsungkan setiap bulan Maulid sebagai bentuk penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW, sekaligus bentuk pelestarian benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora --- tokoh sentral dalam sejarah Panjalu.

Benda-benda pusaka seperti pedang Zulfikar, keris Pancaworo, trisula, hingga goong kecil dimandikan dalam prosesi sakral. Semua benda ini disimpan di Pasucian Bumi Alit, sebuah museum kecil yang jaraknya hanya 200meter dari danau keramat Situ Lengkong Panjalu.

Nyangku bukan hanya ritual tahunan, tetapi juga cara masyarakat meneguhkan jati dirinya. Ia mengikat kembali hubungan antar warga, memperkuat memori kultural, sekaligus menjadi ruang dialog antara tradisi dan tantangan zaman.

Bebegig: Antara Estetika dan Ekologi

Salah satu penanda kuat dalam upacara Nyangku adalah kehadiran kesenian Bebegig. Jika Anda pernah melihat pertunjukan Barong di Bali, maka Bebegig akan terasa sedikit akrab, namun dengan konteks dan bentuk yang berbeda. Topeng Bebegig menyerupai kepala singa, tetapi rambutnya dibuat dari bunga rotan atau curuluk yang disebut bubuai. Ia tampil bukan sekadar menakut-nakuti, tetapi sebagai representasi penjaga alam, khususnya wilayah Tawang Gantungan, sebuah kawasan hutan larangan yang disakralkan masyarakat Desa Sukamantri.

Menurut kepercayaan lokal, Tawang Gantungan dulunya adalah wilayah kekuasaan Prabu Sampulur, tokoh sakti yang menjaga kawasan tersebut dari niat-niat jahat. Maka diciptakanlah topeng-topeng menyeramkan dari kulit kayu untuk menakuti pengganggu. Dari situlah lahir Bebegig --- sebuah bentuk pertahanan budaya berbasis estetika dan spiritualitas.

Kebudayaan sebagai Ruang Perjumpaan

Setiap kali Bebegig tampil, bukan hanya nilai estetika yang muncul, tetapi juga solidaritas sosial. Persiapan pertunjukan ini melibatkan banyak orang, dari perajin topeng, pemusik, penari, hingga masyarakat yang membantu logistik. Gotong royong hidup kembali dalam semangat kebudayaan. Bebegig dan Nyangku hari ini bukan hanya milik Panjalu. Ia telah menjadi warisan budaya nasional, sebuah perayaan yang tak hanya memperingati Maulid Nabi, tetapi juga mempertemukan peziarah, wisatawan, akademisi, seniman, dan pejabat pemerintahan. Semua hadir dan ikut menyatu dalam ruang ritual yang kaya makna.

Menjaga Warisan, Merawat Karakter

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun