Kadang bukan malas yang membuat anak berhenti melangkah, tapi rasa kecewa karena niat baiknya tidak sempat dihargai.
Beberapa anak pasti ada yang suka merencanakan sesuatu dipikirannya sebelum ia melakukan suatu aktivitas, misalkan saja ada seorang anak yang sedang rebahan namun dibalik ia yang sedang rebahan itu didalam pikirannya ia merencanakan sesuatu "habis ini mau menyapu terus mengepel rumah, biar rumah tampak bersih". Namun, setelah beberapa langkah mau mengambil sapu, suara orang tua dari dapur terdengar, "tidur-tiduran terus kerjaannya nyapu-nyapu rumah atau apa gitu yang bermanfaat" terdengar seperti biasa, namun untuk anak-anak kalimat itu dapat menghancurkan semangat yang baru saja muncul, karena dianggap sebagai perintah, bukan pilihan. Rasa inisiatif yang seharusnya membuatnya bangga berubah menjadi beban. Setelah tiba-tiba disuruh dengan nada tegas, niat itu keburu padam.
"Tumben mau membantu" atau "Nah, gitu kek, kalau belum disuruh belum berangkat" adalah ungkapan yang nampaknya sepele bagi orang tua, namun bisa terdengar menyindir bagi anak. Pernyataan-pernyataan semacam itu perlahan bisa membuat anak kehilangan motivasi. Ini bukan karena mereka enggan membantu, tetapi karena niat baik mereka terasa tidak tulus lagi, tercampur dengan rasa kecewa dan jengkel. Anak yang sebelumnya ingin membantu dengan senang, inisiatif, kini melakukannya dengan ekspresi muram. Bukan karena malas, melainkan karena moodnya sudah rusak karena niatnya tak dihargai.Â
Ini adalah hal yang sering kali tidak disadari, cara kita merespons keinginan baik anak dapat menentukan apakah mereka akan tetap berinisiatif atau perlahan menghentikannya.
Dalam studi psikologi motivasi, anak memiliki dua tipe dorongan: motivasi intrinsik, yaitu melakukan sesuatu karena dorongan dari dalam diri sendiri dan motivasi ekstrinsik yaitu melakukan karena tekanan dari luar, seperti diperintah atau diberi imbalan.Â
Tak jarang juga orang tua selalu mengomentari cara anak melakukan sesuatu hal contohnya seperti saat anak menyapu atau mengepel orang tua mengomentari "bukan gitu caranya,gini loh!.", "bagian sini belum disapu tuh, masih kotor." Jika setiap tindakan spontan anak selalu diubah menjadi perintah atau disertai komentar, maka motivasi intrinsiknya akan menurun. Seiring waktu, anak akan berhenti berinisiatif bukan karena malas, tapi karena merasa dirinya tidak dihargai, merasa selalu salah karena cara ia melakukan sesuatu tidak sama dengan saat kita melakukannya, padahal tiap orang memiliki caranya masing-masing dalam melakukan dan menyelesaikan suatu hal.
Sayangnya, banyak orang tua tidak bermaksud buruk. Mereka hanya ingin agar rumah segera rapi atau menginginkan anak disiplin. Namun tanpa disadari, nada perintah atau kalimat sindiran kecil bisa membuat anak merasa dikendalikan, bukan dipercaya. Padahal, kemauan untuk melakukan sesuatu dengan sepenuh hati jauh lebih berharga daripada sekadar mengikuti perintah.
Cobalah sesekali berhenti sejenak sebelum memberi instruksi. Ketika melihat anak sudah mulai melakukan sesuatu, katakan, "Wah, terima kasih nak udah ikut bantu ngringanin pekerjaan rumah." Ucapan sederhana seperti itu mampu meningkatkan semangatnya secara signifikan. Anak merasa diakui, dihargai, dan dipercaya.
Orang tua juga perlu merenungkan, kadang niat baik kita untuk mendidik malah membuat anak kehilangan rasa kendali atas dirinya sendiri. Memberikan ruang bagi anak untuk berinisiatif bukan berarti membiarkan mereka tanpa bimbingan, tetapi memberi kesempatan bagi mereka untuk belajar bertanggung jawab dengan cara yang mereka pilih sendiri. Karena pada dasarnya, setiap anak ingin merasa berguna. Mereka hanya butuh sedikit pengakuan agar niat baik mereka tidak padam di tengah jalan.
Anak bukan tidak mau membantu, mereka hanya perlu dihargai sebelum diberi instruksi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI