Dalam beberapa tahun terakhir, Belt and Road Initiative (BRI) telah menjadi salah satu strategi pembangunan global yang paling ambisius. Diluncurkan oleh China pada tahun 2013, inisiatif ini berupaya menghubungkan Asia dengan Afrika dan Eropa melalui jaringan darat dan laut dengan tujuan meningkatkan integrasi regional, meningkatkan perdagangan, dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Sebagai kawasan yang memiliki posisi strategis, ASEAN memegang peran penting dalam implementasi BRI, mengingat lokasinya yang berada di persimpangan jalur perdagangan internasional.
Salah satu proyek penting dalam kerangka BRI adalah Jalur Kereta Api Laos-China, yang menghubungkan Kunming di China dengan Vientiane di Laos. Proyek ini tidak hanya meningkatkan aksesibilitas Laos sebagai negara tanpa laut tetapi juga menjadi simbol ambisi BRI dalam memperkuat konektivitas lintas batas. Dalam konteks ASEAN, jalur ini diharapkan mendorong integrasi ekonomi kawasan dengan mempercepat arus perdagangan dan mobilitas. Namun, seiring dengan potensi manfaatnya, proyek ini juga menimbulkan sejumlah tantangan. Jalur Kereta Api Laos-China akan memperkuat kohesivitas ASEAN atau justru memperbesar ketimpangan antar negara anggotanya.
Proyek Jalur Kereta Api Laos-China merupakan salah satu langkah penting dalam Belt and Road Initiative. Jalur ini menghubungkan Kunming, ibu kota provinsi Yunnan di China, dengan Vientiane, ibu kota Laos, melalui jaringan kereta api modern sepanjang 414 kilometer. Dibangun dengan biaya sekitar USD 5,9 miliar, proyek ini menggunakan model Build Operate Transfer (BOT) dengan masa konsesi selama 50 tahun. Jalur ini terdiri dari jalur tunggal berlistrik dengan kecepatan kereta mencapai 160 km/jam untuk penumpang dan 120 km/jam untuk barang.
Laos, sebagai negara tanpa akses laut, memiliki posisi strategis sebagai pintu gerbang bagi China untuk memperluas konektivitas dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Jalur ini diharapkan meningkatkan efisiensi logistik, mempercepat waktu perjalanan, dan memangkas biaya transportasi antar negara. Proyek ini juga memperkuat peran Laos sebagai hub regional, mendukung visinya untuk menjadi land-linked country yang menghubungkan negara-negara di kawasan Mekong.
Sebagai bagian dari Jaringan Kereta Api Pan-Asia, yang menghubungkan daratan selatan China dengan negara-negara Asia Tenggara, sekaligus menjadi jalur modern pertama di Laos yang mengintegrasikan negara tersebut ke dalam sistem transportasi lintas kawasan. Proyek ini memangkas waktu perjalanan dari tiga hari menjadi hanya beberapa jam, sehingga tidak hanya meningkatkan efisiensi logistik tetapi juga memperkuat hubungan perdagangan bilateral antara Laos dan China. Infrastruktur ini juga membuka akses yang lebih luas untuk pertukaran sosial dan budaya antar negara.Â
Secara ekonomi, jalur kereta ini memberikan manfaat besar bagi Laos dengan mengurangi biaya transportasi dan logistik. Hal ini meningkatkan daya saing ekspor hasil pertanian Laos seperti beras, kopi, dan kayu olahan, sekaligus memperluas peluang investasi di sektor industri dan manufaktur. Selain itu, jalur ini diharapkan dapat menarik lebih banyak wisatawan internasional, terutama dari China, yang jumlahnya telah meningkat secara signifikan hingga lebih dari satu juta wisatawan pada tahun 2019.
Lebih jauh, proyek ini menjadi katalisator bagi modernisasi infrastruktur lokal, membawa teknologi baru yang disuplai oleh China. Dengan standar pembangunan yang tinggi, jalur kereta ini juga mendukung transformasi Laos menjadi land-linked country, menjadikan negara tersebut sebagai penghubung strategis antara China dan negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini menciptakan peluang baru untuk pertumbuhan ekonomi regional dan memperkuat peran Laos dalam konektivitas kawasan.
Namun, di balik berbagai peluang tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah ketergantungan ekonomi Laos terhadap China. Dengan 70% pendanaan proyek berasal dari China, Laos menghadapi risiko diplomasi jebakan utang yang dapat mengurangi kemandiriannya dalam pengambilan keputusan ekonomi. Selain itu, meskipun jalur kereta ini memberikan manfaat bagi Laos, keuntungan utama lebih banyak dirasakan oleh negara-negara yang memiliki kapasitas ekonomi lebih besar seperti Thailand dan Singapura. Hal ini menciptakan ketimpangan manfaat yang dapat menghambat kohesivitas ASEAN.
Di sisi sosial dan lingkungan, proyek ini telah memengaruhi lebih dari 4.400 keluarga di Laos yang harus meninggalkan rumah mereka untuk mendukung pembangunan jalur kereta ini. Tidak hanya itu, proyek ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang masuknya pekerja asing dan potensi kerusakan lingkungan yang berkepanjangan. Hal ini menambah beban sosial yang harus dihadapi oleh pemerintah Laos. Selain itu, dengan tingkat utang publik Laos yang mencapai lebih dari 60% dari PDB, keberlanjutan utang menjadi ancaman serius. Ketergantungan finansial Laos pada China menimbulkan kekhawatiran bahwa negara tersebut akan kehilangan kendali atas kebijakan domestiknya dalam jangka panjang.
Jalur Kereta Api Laos-China menghadirkan peluang besar untuk mengubah konektivitas di kawasan ASEAN. Sebagai bagian dari Jaringan Kereta Api Pan-Asia, proyek ini tidak hanya meningkatkan konektivitas fisik tetapi juga memfasilitasi kerja sama ekonomi yang lebih erat antara China dan negara-negara ASEAN. Laos, yang sebelumnya terkurung daratan, kini memiliki akses yang lebih baik ke pasar internasional melalui koneksi langsung ke jaringan logistik regional. Hal ini memungkinkan Laos untuk memainkan peran strategis sebagai penghubung antara China dan kawasan Asia Tenggara lainnya.