Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

PBB Akhirnya Memutuskan Ganja Bukan Obat Berbahaya

4 Desember 2020   00:29 Diperbarui: 4 Desember 2020   00:31 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(photo: reason.com)

Setelah melalui pemungutan suara yang berlangsung di Wina (Rabu, 2 Desember 2020), yang diikuti 53 negara anggota, PBB akhirnya mempertimbangkan serangkaian rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengklasifikasi ulang Ganja dan turunannya.

Tetapi perhatian dunia kini berfokus pada rekomendasi kunci untuk menghilangkan ganja dari daftar klasifikasi obat paling berbahaya dan sangat adiktif seperti halnya heroin.

Dalam pemungutan suara oleh Komisi Obat Narkotika (CND) yang diikuti 53 negara anggota, sekitar 27 suara menyatakan dukungan dengan mengizinkan penggunaan ganja untuk tujuan medis. Sekitar 25 suara menyatakan keberatan dan satu suara abstain.

Para ahli mengatakan bahwa hasil pemungutan suara tersebut tidak akan berdampak langsung pada pelonggaran kontrol internasional, karena bagaimanapun juga, setiap pemerintah negara tetaplah masih memiliki yurisdiksi tentang bagaimana mengklasifikasikan ganja.

Namun demikian, tentu saja banyak negara akan melihat hasil konvensi global tersebut sebagai pedoman, dan pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah kemenangan simbolis bagi para pendukung legalisasi ganja.

"Pemungutan suara bersejarah di Wina hari ini dapat memiliki implikasi yang luas bagi industri ganja medis global, mulai dari pengawasan peraturan hingga penelitian ilmiah tentang tanaman dan penggunaannya sebagai obat," tulis Alfredo Pascual di Marijuana Business Daily. 

"Ini adalah kemenangan besar dan bersejarah bagi kami, kami tidak bisa berharap lebih," kata peneliti independen untuk kebijakan narkoba, Kenzi Riboulet-Zemouli.

Di tanah air, dilansir dari halaman CNN Indonesia, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (3/12), menyatakan: "Atas dasar perkembangan baik dari dunia internasional ini, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menyerukan agar pemerintah Indonesia juga mulai terbuka dengan potensi pemanfaatan ganja medis di dalam negeri."

Mereka meminta pemerintah mulai menindaklanjuti perkembangan isu di ranah internasional ini dengan menerbitkan regulasi yang memungkinkan ganja digunakan untuk kepentingan medis. Keputusan PBB itu bisa dijadikan legitimasi medis dan konsensus politik untuk ditindaklanjuti negara-negara anggota, termasuk pemerintah Indonesia. 

Harapan dari Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan ini tentunya sejalan dengan pernyataan di situs resmi PBB bahwa keputusan tersebut dapat mendorong penelitian ilmiah untuk menguak khasiat pengobatan ganja dan bertindak sebagai katalisator bagi negara-negara untuk melegalkannya demi keperluan medis dan mempertimbangkan kembali undang-undang tentang penggunaan untuk rekreasi.

Setelah pemungutan suara ini, beberapa negara membuat pernyataan tentang pendirian mereka. Ekuador mendukung semua rekomendasi WHO dan mendesak agar produksi, penjualan dan penggunaan ganja, memiliki "kerangka peraturan yang menjamin praktik yang baik, kualitas, inovasi dan pengembangan penelitian". Sementara itu, Amerika Serikat memilih untuk menghapus ganja dari Jadwal IV Konvensi Tunggal sambil mempertahankannya dalam Jadwal I.

Rekomendasi yang dikeluarkan PBB ini mungkin tidak mengikat secara hukum, tetapi tentu dapat memberikan pengaruh yang signifikan di seluruh dunia. Ini adalah kabar baik bagi jutaan orang yang menggunakan ganja untuk tujuan terapeutik.

Di sisi bisnis, rekomentasi tersebut akan memberi dampak signifikan untuk perkembangan produk obat berbasis ganja. Usulan legalisasi ganja untuk menjadi komoditas ekspor yang selama ini menuai pro kontra, di mana perdebatan tersebut biasanya kandas pada ketentuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, nampaknya telah menemukan jalan keluarnya.

Lalu, akankah pulau Sumatera khususnya Aceh akan menjadi lahan perkebunan besar-besaran untuk produk ganja? yang pasti kita berharap semoga saja hal ini tidak membuat pemerintah yang tengah merintis proyek pengembangan food estate atau lumbung pangan nasional menjadi "gagal fokus" - "mendua hati" antara menanam ganja atau menanam padi.. hehehe

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun