Seri Pengungkapan Nama-nama Kuno Pulau Sulawesi-3
Pada tulisan sebelumnya (bagian 1 dan bagian 2), saya telah mengulas nama lain pulau Sulawesi yang dalam kitab Nagara Kretagama pupuh 14 disebut: "Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah".
Terhadap tulisan-tulisan tersebut, ada banyak yang memberi dukungan - tetapi, ada juga yang memberi penolakan.Â
Ratusan tanggapan pro-kontra untuk tulisan tersebut muncul dalam beberapa ruang diskusi di media sosial (terutama grup-grup sejarah di Facebook tempat saya memposting tulisan), dan ada juga yang melalui percakapan pesan pribadi.
Suara penolakan terhadap tulisan tersebut ada bermacam-macam bentuknya, dari sekedar menyatakan ketidaksetujuan berwujud bahasa sarkasme (dalam artian kritikan yang tidak substantif), hingga kritikan yang memberikan alasan pembanding yang bersifat argumentatif.Â
Adanya pro kontra terhadap tulisan tersebut, tentu saja saya anggap hal yang lumrah. Bahkan sejujurnya dinamika itulah yang saya ingin capai, dengan tujuan untuk mencermati minat, aspirasi yang disandang, dan sejauh mana khalayak memahami ruang lingkup subjek.
Tujuan strategi membagi kemunculan tulisan bagian per bagian yang saya lakukan, adalah semata-mata agar para pembaca bisa lebih fokus mencermati, dan memiliki jeda waktu dimana pembaca berkesempatan merenung untuk mendalami materi tulisan, sehingga pada kemunculan postingan tulisan selanjutnya, mereka telah memilik bahan dalam memberi tanggapan.
Dan karena itu, untuk semua tanggapan-tanggapan yang diberikan_, saya mengucapkan banyak terima kasih.
Selanjutnya, sebagaimana judul dari artikel, dalam kesempatan ini saya akan memberikan hipotesis lanjutan dengan merujuk pada bukti arkeologis yang terdapat pada makam raja Luwuq di Malangke, Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Fakta arkeologis untuk sebutan "Lombok Merah" sebagai nama pulau Sulawesi di masa kuno
Walaupun saya menyebut motif kedua di kuburan sebagai "cabai" karena kemiripannya dengan buah [tersebut], [namun] impor cabai ke Indonesia tidak terjadi sampai awal abad keenam belas ketika mulai digunakan dalam masakan (Robinson 2007).Â
Meskipun secara teknis memungkinkan (kuburan berasal dari seabad setelah diperkenalkan) saya menduga bahwa desainnya bukan cabai, tetapi saya akan terus menyebutnya seperti itu.Â
Sesuai dengan tema umum vegetasi yang tampaknya telah merangkum motif pada bingkai pintu masuk, saya berusaha untuk memastikan asal-usul "cabai" dari sumber Jawa yang sama tetapi ini terbukti sia-sia.Â
Motif tersebut adalah desain yang lebih sulit untuk dilacak karena kelangkaan penampilannya dalam arsitektur Indonesia. Tidak umum menemukan desain daun tunggal, tidak melekat pada sulur tumbuhan seperti halnya yang ada pada "cabai" kita.