Oleh : Annisa Fadla Islami
Meskipun pandemic Covid-19 belum berakhir, di Indonesia tetap akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak 2020 di beberapa provinsi. Salah satu provinsi yang menyelenggarakan Pilkada Serentak adalah Provinsi Banten. Pendaftaran bakal pasangan calon dibuka pada September lalu, dan kini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) telah menutup pendaftaran bapaslon pada pada Pilkada Serentak 2020. Terdapat empat daerah di Provinsi Banten yang menggelar Pilkada Serentak ini. Yakni Kabupaten Serang, Pandeglang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Cilegon.
Lantas mengapa di Provinsi Banten, sitem pemerintahan dianggap sebagai Bintangnya Dinasti Politik? Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau yang biasa kita sebut KBBI, Dinasti memiliki arti “keturunan raja-raja yang memerintah, yang semuanya berasal dari satu keluarga”.
Dalam penyelenggaraan kekuasaan di negara kita menerapkan politik. Pemerintahan tentu tidak bisa dipisahkan dari politik, apalagi dengan kekuasaan. Robson, seorang ahli menyatakan pandangan bahwa politik merupakan sebuah kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan sekaligus menentang pelaksanaannya. Kekuasaan ini masuk dalam satu dari banyaknya konsep Politik lain seperti legitimasi, konflik, dan sebagainya.
Ungkapan dinasti politik ini sering atau biasa ditujukan kepada keluarga yang beberapa anggota keluarganya terlibat dalam politik praktis. Terutama di negara yang menganut system demokrasi. Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Tangerang Selatan di tahun 2020 ini dipenuhi pertarungan sengit dinasti politik. Terdapat tiga bapaslon yang maju dan tentu sudah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Ketiga bapaslon ini tentu saja memiliki hubungan dengan para penguasa negara, yang tentu saja disebut-sebut terkait dengan dinasti politik.
Pasangan pertama yaitu Benyamin Davnie dan Pilar Saga, dimana Pilar Saga merupakan anak dari Ratu Tatu Chasanah yang masih kerabat dekat dengan mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Pasangan ini diusung oleh Partai Golongan Karya dan 10 kursi parlemennya. Selain itu ada juga tiga partai non-parlemen. yaitu PBB, Partai Gelora, dan PPP.
Pasangan kedua dalam Pilkada Kota Tangerang Selatan adalah Muhamad dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang merupakan keponakan Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto. Pasangan ini didukung oleh koalisi gemuk yang dimotori oleh Gerindra, PDI Perjuangan, Perindo, Hanura, Berkarya, Nasdem, Partai Amanat Nasional (PAN), dan PSI.
Pasangan terakhir yang turut berjuang adalah Siti Nur Azizah dan Ruhamaben. Dimana Siti Nur Azizah ini merupakan puteri dari Wakil Presiden Indonesia Ma’ruf Amin. Pasangan calon ini didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, PKB, dan PKPI yang merupakan partai non-parlemen.
Selain Pilkada di Tangerang Selatan, Pilkada di Kabupaten Serang juga dianggap sebagai dinasti politik. Ada dua pasangan calon yang akan bertarung secara sengit untuk memenangkan kursi kepala daerah. Pasangan yang pertama adalah Ratu Tatu Chasanah dan Panji Tirtayasa. Ratu Tatu Chasanah merupakan adik dari Ratu Atut Chaosiyah yang merupakan mantan Gubernur Banten. Paslon ini dikung koalsisi gemuk yaitu Partai PDIP, PKB, PKS, Nasdem, PPP, PBB, Hanura, PAN, dan Partai Golkar.
Sementara itu pasangan calon kedua dalam Pilkada di Kabupaten Serang ialah Nasrul Ulum dan Eki Baehaki. Pasangan ini didukung oleh Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan satu partai non-parlemen yaitu Gelora.
Nah, melihat bahwa beberapa bapaslon di banten ini berasal dari satu keluarga, apakah berarti system pemerintahan di Indonesia tidak lagi demokratis? Apa salah ketika yang direkomendasikan adalah anggota keluarga sendiri? Karena bukan politik apabila tidak merekomendasikan orang-orang terdekatnya.
“Di dalam masyarakat wajar saja, apalagi di dalam keluarga kalau bapaknya dokter, keturunannya jadi dokter. Bapaknya insinyur, anaknya mau jadi insinyur. Dalam politik begitu juga . Kalau bapaknya tokoh politik atau bidang politik, anaknya juga mau masuk bidang politik” Kata Andi Mallarangeng Politisi Partai Demokrat
Mereka yang disebut sebagai bagian dari dinasti politik memang berbeda dengan nepotisme, karena memang dipilih oleh rakyat. Tetapi kadang kala dinasti politik menjadi jalan untuk melanggengkan korupsi yang sistematis. Misalnya dinasti Atut di Banten ini, Ratu Atut di vonis 5 tahun 6 bulan penjara karena merugikan negara sebesar 79,7 miliar rupiah yang melibatkan sedikitnya 10 anggota keluarga.
Wajar saja banyak yang tidak menyukai dinasti politik, karena dengan adanya dinasti ini tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang yang lain yang bukan berasal dari dinasti. Seolah-olah hanya mereka yang memiliki privilege yang berhak maju ke pemerintahan. Meskipun demikian, calon yang termasuk dalam dinasti politik belum tentu menang dalam Pilkada. Mengapa demikian? Karena masyarakat pasti menilai kemampuannya, apakah cukup kompeten atau tidak, meskipun tak jarang masyarakat yang memilih hanya berdasarkan apa yang didapat saat kampanye.
*Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa