Mohon tunggu...
Fadilah Azzahra
Fadilah Azzahra Mohon Tunggu... Lainnya - Economics Teacher

Economics Growth Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

New Normal dan Ketahanan Pangan Nasional

25 Juni 2020   09:00 Diperbarui: 25 Juni 2020   09:03 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

New normal, sebuah skenario berbentuk suatu tatanan hidup baru yang telah di pertimbangkan oleh pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi COVID-19 dalam menangani aspek sosial-ekonomi. Saat diberlakukannya new normal bukan berarti masyarakat bisa bebas seperti sebelum adanya pandemi COVID-19, maka sebaiknya penerapan new normal ini tidak seharusnya disikapi dengan euforia. New normal adalah bertindak produktif saat fase Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan dengan tetap mematuhi protokol kesehatan yang ada agar aman dari penularan virus corona.

Dalam penerapannya new normal tidak bisa diberlakukan untuk seluruh daerah di Indonesia. Pemerintah daerah akan diizinkan untuk menerapkan new normal apabila daerahnya telah memenuhi standar tertentu atau disebut zona hijau. Terdapat tiga indikator apabila new normal ingin di terapkan di suatu daerah yang di keluarkan oleh World Health Organization (WHO), yaitu tidak menambah penularan atau memperluas penularan atau semaksimalnya mengurangi penularan.

Lalu menggunakan indikator sistem kesehatan yakni seberapa tinggi adaptasi dan kapasitas dari sistem kesehatan bisa merespons untuk pelayanan COVID-19, dan terakhir melakukan surveilans yakni cara menguji seseorang atau sekelompok kerumunan apakah dia berpotensi memiliki COVID-19 atau tidak sehingga dilakukan tes masif.

Pandemi COVID-19 ini menimbulkan dampak yang besar di berbagai sektor. Saat ini masyarakat diharuskan mengikuti protokol kesehatan yaitu dengan menerapkan physical distancing dimana dampaknya masyarakat mengalami krisis ketersediaan kebutuhan pangan. Ketahanan pangan menjadi salah satu sektor terpenting karena sanget rentan di tengah berlangsungnya pandemi COVID-19 yang melanda negeri ini. 

Menurut UU No 18/2012 tentang Pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tecermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Sebelumnya Food Agriculture Orgazation (FAO) telah mengingatkan bahwa saat ini dunia akan dilanda dengan krisis pangan. Oleh karena itu dibutuhkan strategi yang matang dalam menyiapkan produksi dan pendistribusiannya, karena jika situasi pandemi terus berlangsung maka akan berakibat pada peningkatkan jumlah penduduk yang kelaparan. Terdapat sebuah fakta mengejutkan bahwa saat ini terus terjadi penurunan harga komoditas pangan di setiap harinya hingga pada level yang sangat rendah di seluruh wilayah di Indonesia.

Dalam hal ini petani menjadi pihak yang paling merasakan dampak ancaman krisis pangan, petani mengalami kerugian yang mengakibatkan mereka tidak mampu membeli bibit untuk memperbaharui tanaman, sehingga terjadilah kelonjakan harga pangan atau bahan baku. Sebagai contoh naiknya harga kedelai dari Rp 6.700 menjadi Rp 8.500 dimana saat ini kedelai mudah dijumpai di Pulau Jawa namun di luar Pulau Jawa kedelai sulit dicari, kemudian gula pasir yang harganya naik dari Rp 12.500/kg menjadi Rp 18.000/kg, dan yang paling tinggi harga jahe merah yang naik bahkan melebihi 100%  yakni dari Rp35.000/kg menjadi Rp70.000/kg.

Kondisi pandemi COVID-19 ini mengakibatkan ketersediaan akses terhadap makanan diperparah karena semakin memburuknya pandemi itu sendiri, terus meningkatnya angka penularan sehingga pemerintah mengeluarkan larangan perpindahan penduduk. Padahal di masa pandemi ini banyak petani kecil tidak memiliki akses pasar yang luas, sehingga hasil pertaniannya hanya dijual seadanya di pasar lokal dengan harga murah. 

Selain itu, harga kebutuhan lain terus meningkat termasuk harga bahan pertanian juga menambah kerentanan ekonomi para petani. Beberapa penyebab penurunan harga pangan yaitu adanya pembatasan transportasi dan ekonomi yang menggangu sistem pangan yang berjalan, terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal, dan berbagai aktifitas sosial masyarakat yang berdampak ekonomi terhenti seperti hajatan dan kumpul-kumpul yang biasa dilakukan oleh masyarakat.

Terdapat beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan dan menjaga agar petani tetap berproduksi selama pandemi COVID-19 ini, pertama pemetaan ulang stok-stok komoditas pada masing-masing daerah guna memetakan arah pendistribusian pangan secara nasional. 

Kedua, optimalisasi fungsi kelompok-kelompok tani dan koperasi guna menyeimbangkan kebijakan dari pemerintah. Ketiga, pengawasan harga-harga pangan mulai dari level produsen (petani) sampai di tangan konsumen sehingga produksi pangan tetap berjalan dengan optimal. Keempat, pemerintah dapat kembali mengaktifkan sistem-sistem ketahanan petani dari mulai tingkat desa dengan bantuan koperasi-koperasi desa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun