Mohon tunggu...
Fadhlur Rohman Arofah
Fadhlur Rohman Arofah Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Andalas

Saya seorang mahasiswa manajemen di universitas andalas, saya sangat tertarik dengan dunia bisnis dan administrasi.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Kepailitan di Sumatera Barat

12 Juni 2025   15:15 Diperbarui: 12 Juni 2025   15:15 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

PENDAHULUAN 

Fenomena kepailitan bukanlah hal asing dalam diskursus hukum ekonomi di Indonesia. Istilah ini mengacu pada situasi ketika seseorang atau badan usaha tidak lagi mampu membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kepailitan, dalam bentuk yuridis, merupakan salah satu instrumen hukum yang memberikan jalan keluar legal terhadap kebuntuan hubungan antara debitur yang sudah tidak solvent lagi dan kreditur yang menuntut pelunasan. Dalam realitas sistem perekonomian nasional, situasi ini menjadi semakin relevan ketika ketidakpastian ekonomi global maupun domestik mengakibatkan tekanan terhadap arus kas berbagai entitas usaha. Khusus di Indonesia, pengaturan mengenai kepailitan ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang membahas tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa kepailitan bukan sekadar persoalan utang piutang, melainkan bagian dari mekanisme perlindungan hukum yang bersifat dual: memberikan peluang restrukturisasi atau penyelesaian utang bagi debitur, dan sekaligus menjamin hak kreditur.

Namun, penting untuk disadari bahwa realitas hukum tidak terlepas dari kondisi geografis, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di mana hukum tersebut dijalankan. Dalam hal ini, Sumatera Barat sebagai salah satu provinsi dengan kekayaan budaya yang kental dan struktur ekonomi yang unik menjadi medan yang menarik untuk mengamati bagaimana mekanisme kepailitan bekerja dan bagaimana masyarakat serta pelaku usaha menyikapinya. Di wilayah ini, struktur ekonomi masih sangat bergantung pada sektor primer seperti pertanian, peternakan, dan perdagangan skala kecil. UMKM tumbuh subur, namun pada saat yang sama rentan terhadap perubahan ekonomi makro, bencana alam, keterbatasan akses pembiayaan, dan rendahnya literasi keuangan formal. Dalam kondisi seperti itu, mekanisme penyelesaian utang melalui jalur hukum, termasuk kepailitan, bukanlah pilihan utama. Banyak pelaku usaha lebih mengandalkan penyelesaian informal berbasis kekeluargaan, adat, atau perjanjian tidak tertulis. Ketika krisis keuangan benar-benar terjadi, sering kali penyelesaian hukum yang tersedia tidak dimanfaatkan secara maksimal, baik karena minimnya pemahaman, ketakutan terhadap stigma, maupun keterbatasan akses terhadap pengadilan.

Persoalan menjadi semakin kompleks ketika kita memahami bahwa pengadilan niaga sebagai lembaga yang berwenang menangani perkara kepailitan tidak hadir di setiap provinsi. Berdasarkan hasil telaah Dewi (2023), pengadilan niaga memiliki karakteristik khusus, terutama dalam hal struktur, kewenangan, serta prosedur penanganan perkara. Proses penyelesaian perkara di pengadilan niaga cenderung cepat, ringkas, dan formalistik. Namun, kecepatan tersebut tidak selalu sejalan dengan kualitas putusan, terutama jika pemohon, dalam hal ini debitur maupun kreditur, tidak memahami prosedur yang tepat. Dalam konteks Sumatera Barat, tantangan itu diperparah oleh jarak geografis dari pusat pengadilan niaga, terbatasnya jumlah advokat yang memahami hukum kepailitan secara mendalam, serta minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga terkait.

Kondisi tersebut menciptakan jurang antara teori dan praktik. Secara teori, kepailitan adalah solusi legal yang menjamin keadilan. Namun dalam praktiknya, justru kerap menciptakan ketimpangan baru. Kreditur besar dengan sumber daya hukum yang memadai dapat dengan mudah mengajukan permohonan pailit, sementara kreditur kecil atau debitur mikro sering kali tereliminasi dari proses. Situasi ini juga dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menekan pesaing bisnis secara tidak sehat. Terok (2022) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa beberapa perusahaan kecil di daerah luar Jawa mengalami tekanan besar akibat kurangnya keadilan prosedural dalam penanganan perkara pailit. Penyebab utamanya terletak pada minimnya perlindungan terhadap debitur lemah, dan tidak adanya mekanisme pembinaan terhadap UMKM yang menghadapi kesulitan likuiditas jangka pendek.

Sumatera Barat memiliki karakter masyarakat yang kuat dalam semangat gotong royong dan penyelesaian masalah secara musyawarah. Sayangnya, semangat ini belum terakomodasi dalam sistem kepailitan formal yang kaku. Banyak pengusaha lokal yang enggan membawa perkara ke ranah hukum karena takut kehilangan muka di masyarakat atau dinilai sebagai pelaku usaha yang gagal. Pada saat bersamaan, data dari beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa angka non-performing loan (NPL) di sektor perbankan daerah mengalami peningkatan, menandakan adanya penurunan kemampuan bayar di kalangan pelaku usaha lokal. Namun ironisnya, hal ini tidak diikuti dengan peningkatan jumlah permohonan pailit secara formal, menandakan bahwa mekanisme hukum tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Aspek lain yang patut diperhatikan adalah masih minimnya literatur yang secara khusus membahas kepailitan di Sumatera Barat. Kajian akademik lebih banyak terfokus pada wilayah perkotaan besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Medan. Padahal, masing-masing daerah memiliki karakteristik yang sangat berbeda---baik dalam hal struktur usaha, tradisi hukum, maupun persepsi terhadap sistem peradilan. Minimnya penelitian di tingkat daerah membuat pengambilan kebijakan menjadi bersifat sentralistik dan mengabaikan keragaman sosial ekonomi lokal. Padahal, dalam kerangka otonomi daerah dan semangat pembangunan berbasis wilayah, sudah seharusnya pendekatan kebijakan hukum juga bersifat lokalistik. Kondisi ini menunjukkan pentingnya kajian lebih lanjut mengenai kepailitan dari sudut pandang regional, termasuk di Sumatera Barat. Apakah benar mekanisme kepailitan sebagaimana diatur dalam UU 37/2004 dapat diterapkan secara efektif di wilayah ini? Bagaimana persepsi masyarakat, pelaku usaha, dan aparat hukum terhadap proses pailit? Apakah terdapat perbedaan antara penyelesaian utang secara formal dan non-formal di daerah? Dan sejauh mana pengadilan niaga mampu menjangkau dan melayani kepentingan masyarakat lokal dengan adil?

Tujuan dari kajian ini tidak hanya untuk melihat data statistik atau putusan pengadilan semata, tetapi juga untuk menggali aspek sosiologis dan budaya yang melingkupi praktik kepailitan di lapangan. Dengan kata lain, kepailitan tidak hanya dipandang sebagai proses hukum yang teknis, tetapi sebagai fenomena sosial yang berkaitan erat dengan kepercayaan, stigma, kekuasaan, dan dinamika ekonomi lokal. Dalam situasi di mana hukum tertulis tidak cukup menyentuh realitas lokal, maka pemahaman yang mendalam terhadap dinamika sosial masyarakat Sumatera Barat menjadi krusial untuk merancang sistem penyelesaian utang yang benar-benar adil dan dapat diterima secara luas. Dengan memperhatikan berbagai hal tersebut, penting untuk menempatkan isu kepailitan sebagai bagian dari reformasi hukum ekonomi yang berkeadilan, sensitif terhadap lokalitas, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Kepailitan tidak boleh hanya dipahami sebagai akhir dari sebuah usaha, melainkan sebagai peluang untuk restrukturisasi, pemulihan, dan kebangkitan ekonomi, selama dijalankan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap pihak yang lemah. Maka dari itu, penelitian ini berupaya untuk memotret situasi kepailitan di Sumatera Barat secara mendalam, dengan harapan dapat menjadi dasar bagi perbaikan sistem hukum di masa mendatang.

MASALAH

Permasalahan mengenai kepailitan di Sumatera Barat tidak hanya terletak pada pemahaman konseptual tentang insolvensi dan mekanisme penyelesaian utang melalui jalur hukum, tetapi juga berakar dari dinamika ekonomi lokal, sistem hukum yang berlaku, serta karakteristik sosial masyarakat bisnis yang belum sepenuhnya akrab dengan institusi pengadilan niaga. Kompleksitas ini menjadi lebih terasa ketika melihat kondisi daerah yang masih menghadapi tantangan dalam pencatatan aset, transparansi keuangan, dan pemulihan usaha pasca gagal bayar. Kepailitan di wilayah ini tidak dapat dilepaskan dari struktur ekonomi daerah yang didominasi oleh sektor mikro, kecil, dan menengah. Meskipun sektor ini menjadi tulang punggung perekonomian Sumatera Barat, ketahanan finansial yang rendah, ketergantungan pada perputaran modal harian, serta keterbatasan akses terhadap pendampingan hukum menyebabkan sebagian besar pelaku usaha yang mengalami tekanan keuangan memilih menyelesaikan sengketa di luar pengadilan atau bahkan menghentikan kegiatan usahanya secara informal. Pola ini menimbulkan fenomena kepailitan tersembunyi, di mana tidak semua kondisi gagal bayar tercermin dalam data resmi yang tercatat dalam sistem pengadilan niaga.

Ketidakseimbangan ini menjadi salah satu akar masalah dalam studi kepailitan regional. Ketika praktik usaha lokal beroperasi dalam kerangka informal, banyak pelaku usaha tidak menyadari atau tidak memiliki kapasitas untuk menggunakan instrumen hukum seperti kepailitan atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sebagai bagian dari restrukturisasi usaha. Di sisi lain, pengadilan niaga sebagai lembaga khusus yang diberi kewenangan memproses perkara kepailitan masih beroperasi secara terpusat, sehingga pelaku usaha di luar kota besar menghadapi tantangan logistik, biaya, dan waktu untuk mengakses keadilan. Masalah lain yang muncul adalah minimnya publikasi data tentang jumlah perkara pailit di Sumatera Barat, termasuk data demografis debitur dan kreditur, nilai aset yang terlibat, rasio pemulihan utang, serta outcome perkara tersebut. Tidak tersedianya data yang konsisten dan terbuka membuat para peneliti hukum, akademisi, maupun pemangku kepentingan kesulitan merumuskan kebijakan berbasis bukti untuk mencegah atau menanggulangi fenomena kepailitan lokal. Ketertutupan informasi ini juga memicu rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme formal penyelesaian sengketa keuangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun