Mohon tunggu...
Fadhil Nugroho Adi
Fadhil Nugroho Adi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Paruh Waktu

Pembelajar, penyampai gagasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tri Hita Karana, Upaya Menjaga Semesta dari Pandemi

21 April 2020   14:46 Diperbarui: 2 Agustus 2023   22:33 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Balinese woman praying with incense at Pura Tirta Empul Hindu Temple, Bali, Indonesia, Southeast Asia, Asia 1109-221 (Robert Harding)

Sahayajnah prajah srtva puro'vaca prajapatih amena prasavisyadhvam eso vo'stu istakamadhuk (Bhagavad Gita III.10)

"Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu."

Bumi tengah diliputi pandemi. Corona berhasil meruntuhkan nyaris segala lini kehidupan. Aktivitas sosial mendadak terhenti. Orang-orang pun berlomba-lomba kembali pada alam. 

Selain memburu bahan-bahan obat tradisional, pola hidup sehat dan teratur kini kian digalakkan. Sebut saja tradisi mencuci tangan dan kaki sebelum masuk rumah.

Jauh berabad lampau, kearifan lokal telah mengajarkan tata cara membersihkan diri. Patirthan (kolam suci) misalnya yang ditempatkan di depan candi atau bangunan suci. Kemudian padasan yang banyak ditemui di depan rumah masyarakat Jawa dan Betawi. 


Padasan biasanya berwujud gentong besar yang terbuat dari tanah liat atau keramik. Air yang mengalir (banyu mili) diyakini sebagai media terbaik yang disediakan alam untuk bersuci. Tak mengherankan jika generasi terdahulu lebih senang menempatkan sumur di halaman depan ketimbang halaman belakang.

Sejatinya, kesadaran untuk kembali hidup selaras dengan alam mengingatkan kita pada filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta. 

Istilah tersebut diimplementasikan pertama kali oleh I Gusti Ketut Kaler pada tahun 1969 dalam suatu seminar tentang desa adat dalam wujud tata ruang dan tata aktivitas dalam desa adat. 

Tri berarti tiga, Hita berarti kebahagiaan atau kemakmuran, dan Karana berarti penyebab. Secara harfiah, Tri Hita Karana dimaknai sebagai tiga penyebab kebahagiaan. 

Kebahagiaan terwujud ketika terjalin sikap hidup yang seimbang antara berbakti kepada Sang Hyang Widi, mengabdi kepada sesama umat manusia dan menyayangi alam lingkungan berdasarkan yadnya.

Memotret Tri Hita Karana

Merujuk pada kutipan sloka Bhagavad Gita di pembuka tulisan ini, I Made Purana dalam tulisannya "Pelaksanaan Tri Hita Karana dalam Kehidupan Umat Hindu" mengemukakan jika yadnyalah yang menjadi dasar hubungan Tuhan Yang Maha Esa (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk). 

Lebih lanjut, I Ketut Bantas dalam tulisannya "Menuju "Trihita Karana" menguraikan, alam atau dunia (kamadhuk) digambarkan sebagai sapi perahan. Maknanya adalah susunya boleh diperah, tetapi sapinya harus selalu dirawat. Demikian pula dengan dunia atau alam ini boleh dieksploitasi, tetapi juga harus selalu dirawat dan dilestarikan.

Untuk mewujudkan kelestarian alam inilah, I Ketut Wiana dalam "Menuju Bali Jagadhita: Tri Hita Karana Sehari-Hari" menyebutkan pentingnya sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan. Ketiga hal tersebut tidak terlepas dari unsur-unsur yang tercakup dalam Tri Hita Karana, yakni Sanghyang Jagatkarana, Bhuana dan Manusia.

Bali telah menjadi saksi keberhasilan pelaksanaan konsep tersebut. Sejak abad kesebelas, nasihat Mpu Kuturan untuk menata kehidupan di Bali "Manut Linggih Sang Hyang Aji" (menata kehidupan berdasarkan ajaran kitab suci) terbukti dijalankan dengan baik. Kini kita bisa menyaksikannya pada konsepsi Parhyangan, Pawongan dan Palemahan seperti berikut:

Parhyangan atau hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sederhananya, parhyangan berarti tempat suci untuk memuja tuhan. 

Seperti Kahyangan Jagat untuk parhyangan di tingkat daerah, Kahyangan desa atau Kahyangan Tiga di tingkat desa adat, dan pemerajan atau sanggah di tingkat keluarga.

Pawongan berarti segala hal yang berkaitan dengan hubungan sosial kemasyarakatan. Ini antara lain diwujudkan dengan krama desa adat dan seluruh umat Hindu di Bali.

Palemahan yang berarti hubungan antara manusia dengan lingkungan atau alam, baik yang bersifat sekala maupun niskala. Dalam ajaran agama Hindu dapat diwujudkan dengan Bhuta Yadnya (upacara yadnya atau persembahan yang dilaksanakan untuk menjaga keharmonisan Bhuta Hita yang dibangun dari Panca Mahabhuta).

Ketiga konsep tersebut dijaga dengan sangat apik melalui upacara-upacara keagamaan yang berpatokan pada Panca Yadnya. Panca artinya lima dan Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus kepada Ida Sanghyang Widi Wasa. Adapun pelaksanaan Panca Yadnya terdiri dari :

  1. Dewa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas ke hadapan para dewa-dewa.
  2. Bhuta Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas ke hadapan unsur-unsur alam.
  3. Manusa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia.
  4. Pitra Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah meninggal.
  5. Rsi Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas ke hadapan para orang suci umat Hindu.

Bhuta Yadnya, Penghargaan untuk Semesta

Bhuta yadnya ngarania taur muang kapujan ring tuwuh... matangnyan prihen tikang bhuta hita, aywa tan maasih-ring sarwa prani... (kutipan Agastia Parwa dan Sarasamuscaya 135).

Terjemah:

Bhuta Yadnya namanya mengembalikan unsur-unsur alam itu dengan menghormati tumbuh-tumbuhan... Oleh karena itu usahakanlah kesejahteraan alam itu (Bhuta Hita) jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk hidup (sarwa prani)...

Bhuta berarti unsur-unsur alam, sedangkan Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Merujuk pada Parisada Hindu Dharma Indonesia, Bhuta Yadnya adalah pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas ditujukan ke hadapan Bhuta Kala yang tujuannya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Bhuta Kala dan memanfaatkan daya gunanya.

I Ketut Wiana dalam salah satu artikelnya juga menegaskan jika pelaksanaan Bhuta Yadnya bertujuan mengembalikan kemurnian eksistensi unsur-unsur alam yang disebut dengan Panca Mahabhuta. 

Panca Mahabhuta yang terdiri dari akasa, bayu, teja, apah, dan perthiwi merupakan lima anasir dasar yang dijadikan penyusun alam semesta ini. Keberadaannya terstruktur dari yang paling atas dan paling halus yaitu akasa lalu turun ke bayu, teja, apah yang semakin kasar dan perthiwi di tempat terbawah dan paling kasar. Keberadaan Panca Mahabhuta ini juga tertulis dalam Taittirya Upanisad (II.1.1) dengan terjemah:

"Dari situlah Brahman, yang merupakan Diri, menghasilkan akasa. Dari akasa muncul bayu. Dari bayu lahirlah teja. Dari teja tercipta apah. Dari apah muncul perthiwi. Dari perthiwi lahir tumbuhan. Dari tumbuhan itu dihasilkan makanan. Dari makanan lahir manusia. Manusia itu adalah produk dari esensi makanan."

Dalam kaitan dengan pandemi, manusia diajak untuk berkontemplasi sejauh mana andil yang diberikan untuk menjaga semesta. Sejak memasuki masa Dwapara Yuga, kerusakan moral makin menjadi-jadi. 

Manusia tidak lagi patuh pada ajaran Sad Pertiwi Dharyante atau enam perilaku untuk mendukung tegaknya dharma di Ibu Pertiwi. Sad Pertiwi Dharyante dinyatakan dalam Atharvaveda XII. 1.1. yaitu Satya = kebenaran, Rta = tegaknya hukum alam, Diksa = kesucian, Tapa = pengendalian hawa nafsu, brahma = doa dan Yadnya = keikhlasan berkorban demi tegaknya dharma.

Kini pilihannya ada di tangan kita. Jika pandemi ini berlalu, akankah kita masih jauh dari rasa menyayangi semesta, atau kembali asih pada alam. Sebagaimana dikatakan Agastia Parwa, bahwa salah satu cara untuk mendapat perlindungan Hyang Widhi adalah membangun kekuatan spiritual untuk menumbuhkan sikap hidup yang peduli pada upaya-upaya nyata untuk memelihara kesejahteraan alam (Bhutahita). 

Maka selaras dengan Tri Hita Karana, manusia hendaknya kembali pada kodratnya sebagai penyeimbang antara penyembahan kepada Tuhan dan bakti pada lingkungan. Semoga kita selalu mendapat bimbingan Tuhan untuk mampu mencintai sesama dan semesta.

Sasi wimba haneng gata mesi banyu.

Ndan asing suci nirmala mesi wulan 

Iwa mangkana rakwa kiteng kedadin.

Ring angambeki yoga kiteng sekala

Bayangan bulan terlihat  dalam tempayan yang berisi air. Setiap yang (berisi air yang) suci hening berisi bulan. Demikianlah Engkau Tuhan, berada dalam setiap mahluk. Pada orang yang melakukan yoga Engkau menampakkan diri.

(Wirama Totaka dalam Arjuna Wiwaha)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun