Dalam ajaran Islam, zina adalah dosa besar yang dilarang keras. Al-Qur'an, tepatnya pada Surat Al-Isra ayat 32, dengan tegas menyatakan: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." Larangan ini mencakup tidak hanya zina haqiqi (hubungan seksual di luar nikah), tetapi juga zina majazi yang melibatkan hati, mata, ucapan, hingga tangan. Dalam konteks ini, baik pekerja seks komersial (PSK) maupun orang yang berpacaran dan melanggar batas syariat, sejatinya sama-sama terjerumus dalam dosa zina. Namun, ada perbedaan mendasar dalam motivasi, dampak, dan cara masyarakat memandang keduanya---yang justru menimbulkan ironi tersendiri.
PSK dan Pacaran: Sama-Sama Melanggar Syariat
Baik PSK maupun pasangan yang berpacaran dan melakukan aktivitas seperti Cuddle Care (pelukan mesra), Love Care (sentuhan intim), hingga Booking Order (hubungan seksual), jelas melanggar batas syariat. Dalam Islam, hubungan fisik apa pun di luar ikatan pernikahan sah adalah zina, baik itu dilakukan atas nama ekonomi seperti PSK, maupun atas nama cinta seperti dalam pacaran. Al-Qur'an pada Surat An-Nur ayat 2 bahkan menetapkan hukuman bagi pelaku zina ghairu muhsan (yang belum menikah) dengan 100 kali cambukan, tanpa membedakan apakah itu dilakukan secara transaksional atau emosional. Jadi, dari sudut pandang agama, keduanya sama-sama berdosa besar dan tidak ada yang lebih "ringan" di mata Allah.
Namun, jika kita telisik lebih dalam, ada argumen yang bisa mengatakan bahwa PSK justru "lebih baik" dalam beberapa aspek dibandingkan pacaran yang melanggar syariat. Mengapa demikian?
PSK: Transaksi Ekonomi Tanpa Perasaan
Aktivitas PSK pada dasarnya adalah transaksi ekonomi. Mereka menawarkan jasa---entah itu pelukan, sentuhan, atau hubungan badan---dengan imbalan uang. Tidak ada ikatan emosional yang rumit, tidak ada janji cinta, dan tidak ada harapan yang menggantung. Ketika transaksi selesai, hubungan pun berakhir tanpa ada dendam, cemburu, atau luka hati yang biasanya menyertai hubungan pacaran yang kandas. Dalam pacaran, sering kali aktivitas zina dilakukan dengan dalih "cinta," yang justru membuka pintu bagi masalah emosional yang lebih dalam: pengkhianatan, putus cinta, bahkan dendam yang berkepanjangan.
Lebih jauh lagi, PSK biasanya berinteraksi dengan orang-orang yang tidak terlalu dikenal secara personal---klien mereka adalah "orang asing" dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, dalam pacaran, pelaku zina sering kali mengenal pasangannya dengan baik, bahkan mungkin berasal dari lingkaran sosial yang sama. Jika hubungan itu berakhir buruk, dampaknya bisa merembet ke keluarga, teman, atau komunitas yang lebih luas. Dari perspektif ini, dosa PSK bisa dibilang lebih "terkendali" karena tidak melibatkan perasaan yang berpotensi merusak lebih banyak pihak.
Stigma Masyarakat: Ketimpangan yang Tidak Adil
Ironisnya, meski keduanya sama-sama berdosa, stigma masyarakat terhadap PSK dan orang yang berpacaran sangatlah timpang. PSK sudah dicap buruk di mata publik---mereka dianggap rendah, hina, dan sering diasingkan dari lingkungan sosial. Label "wanita nakal" atau "pelaku maksiat" melekat erat pada mereka, bahkan tanpa mempertimbangkan latar belakang atau alasan mereka terjun ke dunia itu, seperti kemiskinan atau keterpaksaan.
Sebaliknya, pacaran yang melanggar batas syariat---meskipun sama-sama zina---sering kali diterima, bahkan direstui oleh masyarakat, termasuk orang tua. Banyak orang tua yang dengan bangga melihat anaknya berpacaran, menganggap itu sebagai bagian dari "proses pendewasaan" atau "mencari jodoh," padahal aktivitas seperti berduaan, bersentuhan, atau lebih jauh lagi, jelas-jelas dilarang dalam Islam. Ketika kehamilan di luar nikah terjadi (Married by Accident), barulah muncul rasa malu, tapi itu pun sering diselesaikan dengan pernikahan kilat tanpa mengakui dosa zina yang sudah terjadi sebelumnya.
Harusnya, jika kita konsisten dengan ajaran agama, stigma terhadap keduanya seharusnya sama. Mengapa pacaran yang melanggar syariat tidak mendapat cap buruk seperti PSK? Bukankah dosa mereka setara di mata Allah? Ketimpangan ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih dipengaruhi oleh norma budaya ketimbang hukum syariat yang sebenarnya.
Kesimpulan: Kembali ke Syariat, Bukan Stigma
Baik PSK maupun pacaran yang melanggar batas adalah bentuk zina yang dilarang dalam Islam, dan keduanya membawa dosa besar. Namun, jika dilihat dari dampaknya, PSK bisa dianggap "lebih baik" karena terbatas pada transaksi ekonomi tanpa melibatkan perasaan yang berpotensi merusak lebih luas. Di sisi lain, ketimpangan stigma masyarakat menunjukkan inkonsistensi: PSK dihujat habis-habisan, sementara pacaran yang sama dosanya justru diterima.
Sebagai umat Islam, seharusnya kita tidak terjebak pada persepsi sosial semata, tetapi kembali pada Al-Qur'an dan Sunnah. Baik PSK maupun pelaku pacaran yang berzina sama-sama membutuhkan hidayah dan taubat, bukan sekadar cap buruk atau pembenaran budaya. Ramadhan ini semoga bisa menjadi momen bagi para PSK dan yang berpacaran untuk berubah menjadi lebih baik disemua sisi. Karena Bukankah Allah Maha Pengampun bagi hamba yang kembali kepada-Nya?Â