Mohon tunggu...
Fadhilatus Sholihah Ahfa
Fadhilatus Sholihah Ahfa Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, UNJ

sedang terus berproses

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perspektif Sosiologi terhadap Tren Olahraga untuk Mengatasi Kesehatan Mental di Kalangan Pemuda

23 Juni 2025   14:39 Diperbarui: 23 Juni 2025   14:51 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Latar Belakang Masalah

Selama beberapa tahun terakhir, semakin banyak negara, termasuk Indonesia, telah mengakui pentingnya masalah kesehatan mental dan kepentingannya bagi masyarakat. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya tekanan hidup yang berasal dari harapan sosial, persaingan di bidang pendidikan, pencarian jati diri, serta dampak media sosial yang sering menunjukkan standar kehidupan yang tidak realistis. Menurut World Health Organization (WHO), secara global, diperkirakan satu dari tujuh anak berusia 10 hingga 19 tahun mengalami masalah kesehatan mental, tetapi banyak dari masalah tersebut tidak terdeteksi dan tidak mendapatkan perawatan. Remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual. Rasa keingintahuan yang besar, menyukai petualangan dan tantangan serta berani mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang merupakan sifat khas dari remaja. Apabila keputusan yang diambil tidak tepat, maka akan berisiko dalam berbagai masalah kesehatan fisik maupun psikososial (Hapsari, 2019).

Menurut WHO Remaja yang memiliki masalah kesehatan mental sangat rentan terhadap pengucilan sosial, diskriminasi, stigma yang dapat memengaruhi keinginan untuk mencari bantuan, kesulitan dalam pendidikan, perilaku berisiko, kesehatan fisik yang buruk, dan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam situasi yang rumit ini, terlihat tren di kalangan anak muda yang menjadikan olahraga sebagai salah satu metode untuk mengurangi stres dan mempertahankan keseimbangan emosional.

Olahraga kini tidak hanya dianggap sebagai kegiatan fisik semata, melainkan juga sebagai alat untuk mengatasi atau sebagai strategi untuk mengalihkan diri dari stres mental yang mereka hadapi. Di media sosial seperti TikTok dan Instagram, sejumlah pemuda menunjukkan kegiatan olahraga mereka sebagai cara untuk menyembuhkan diri dan merawat diri. Ini menunjukkan adanya perubahan budaya yang menarik, di mana olahraga dianggap sebagai bagian dari cerita kesehatan mental yang lebih komprehensif.

Meskipun demikian, peristiwa ini tidak dapat dideteksi hanya dengan menggunakan pemeriksaan psikologis atau medis. Pendekatan sosiologis diperlukan untuk menguraikan bagaimana fenomena ini berkembang, menyebar, dan diinterpretasikan dalam kehidupan sosial para remaja. Bagaimana struktur sosial, hubungan antar individu, nilai-nilai budaya, dan dinamika kelas sosial membentuk serta memengaruhi pandangan terhadap olahraga sebagai sarana penyembuhan mental? Apakah fenomena ini dapat diakses secara merata oleh semua remaja dari beragam latar belakang, atau justru menciptakan ketidakadilan dan eksklusivitas yang baru?

Dalam konteks sosiologi, sangat penting untuk mengeksplorasi tren olahraga sebagai sebuah respons terhadap tekanan sosial yang dihadapi remaja. Remaja bukan hanya individu dengan kebebasan memilih, tetapi juga sebagai aktor sosial yang berada dalam kerangka struktur sosial tertentu. Oleh sebab itu, pemilihan olahraga sebagai pelarian dari stres mental juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kondisi ekonomi, ketersediaan fasilitas, penggambaran budaya, hingga tekanan untuk tampil baik dari media sosial.

Analisis Sosiologi

Perspektif sosiologis, seperti teori fungsionalisme struktural, interaksionisme simbolik, dan konflik sosial, sangat penting untuk memahami bagaimana kaum muda menanggapi tekanan kesehatan mental. Masing-masing perspektif ini akan memberikan wawasan mengenai arti dan struktur sosial yang mendasari kegiatan olahraga yang sekarang dianggap sebagai cara untuk menyembuhkan diri.

  • Fungsionalisme Struktural: Olahraga sebagai Alat Penyesuaian Sosial

Dalam perspektif fungsionalisme struktural (Durkheim, Parsons), setiap bagian dalam masyarakat memiliki tugas untuk mempertahankan stabilitas sosial (Juwita, Firman, Rusdinal, & Aliman, 2020). Dalam hal ini, olahraga berperan sebagai alat penyesuaian untuk menangani masalah sosial, salah satunya adalah peningkatan masalah kesehatan mental yang muncul.

Generasi muda menghadapi banyak tekanan dari berbagai lembaga sosial seperti keluarga, sekolah, dan media. Dalam kondisi ini, olahraga berfungsi sebagai cara untuk melarikan diri yang telah terlembagakan, di mana aktivitas fisik seperti nge-gym, jogging pagi, yoga, dan hiking menyediakan kerangka dan rutinitas yang membantu individu merasa lebih seimbang. Ini sesuai dengan ide Talcott Parsons bahwa individu yang menjalani peran sosialnya dengan baik akan membantu menjaga keseimbangan dalam sistem sosial.

Selain itu, di masyarakat modern yang sangat kompetitif, olahraga juga berfungsi sebagai saluran untuk meredakan tekanan kolektif. Komunitas pelari, tempat gym bersama, atau tantangan olahraga online menciptakan bentuk baru dari integrasi sosial yang memperkuat kebersamaan di antara pemuda untuk menghadapi krisis mental secara kolektif.

  • Interaksionisme Simbolik: Olahraga sebagai Identitas dan Bahasa Sosial

Pandangan interaksionisme simbolik (Mead, Blumer) mengedepankan arti subjektif yang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain (Valentiyo, Ramadha, & Alhanif, 2025). Dalam hal ini, berolahraga tidak semata-mata untuk kesehatan, tetapi juga telah berfungsi sebagai tanda status, gaya hidup, dan bahkan ungkapan identitas pribadi.

Sebagai contoh, seorang anak muda yang secara teratur membagikan kegiatan olahraganya di media sosial sedang membangun citra dirinya sebagai seseorang yang memperhatikan kesejahteraan mental dan fisik. Tagar seperti #healing, #mentalhealth, atau #stress menciptakan cerita bersama bahwa olahraga adalah bentuk kasih sayang terhadap diri sendiri. Kegiatan ini menciptakan makna sosial yang bisa dipahami dengan cara yang berbeda oleh berbagai kelompok.

Oleh karena itu, arti olahraga sebagai "penyembuh mental" bukanlah hal yang bersifat umum, tetapi dinegosiasikan dan dibentuk secara sosial. Bagi sebagian kaum muda, berolahraga adalah cara untuk melepaskan diri dari tekanan; sementara bagi yang lain, itu menjadi alat untuk mengekspresikan diri atau lambang kekuatan dan kontrol atas kehidupan mereka.

  • Teori Konflik Sosial: Ketimpangan Akses terhadap Ruang dan Sumber Daya Olahraga

Teori konflik sosial (Marx, Bourdieu) mengkaji bagaimana akses ke olahraga menunjukkan adanya perbedaan kelas. Tidak semua anak muda mendapatkan akses yang setara terhadap fasilitas olahraga yang baik, pelatihan kebugaran, atau komunitas yang mendukung.

Contohnya, anak muda berasal dari keluarga kelas menengah atas umumnya memiliki keanggotaan di gym, peralatan olahraga pribadi, atau waktu luang yang memadai untuk berolahraga. Sebaliknya, anak muda dari kelas pekerja mungkin harus bekerja sambil belajar, tinggal di tempat yang sempit tanpa area terbuka, atau mengalami keterbatasan dalam akses informasi mengenai kesehatan mental.

Pierre Bourdieu dalam pemikirannya tentang habitus dan modal sosial menunjukkan bahwa kegiatan olahraga yang tampak sederhana ini sebenarnya sangat dipengaruhi oleh kapital ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, olahraga sebagai sarana penyembuhan jiwa bukanlah suatu pilihan yang netral, tetapi juga mencerminkan perulangan ketimpangan dalam masyarakat.

Refleksi Kependidikan atas Masalah yang Terjadi

Fenomena di kalangan remaja yang menggunakan olahraga untuk menjaga kesehatan mental menyampaikan pesan berharga untuk dunia pendidikan, terutama dalam hal pendidikan karakter dan kesejahteraan siswa secara menyeluruh. Jika tren ini muncul sebagai reaksi terhadap tekanan sosial yang besar, maka pertanyaan yang timbul adalah: apa yang bisa dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk mengatasi tekanan tersebut sejak awal?

Sekolah dan perguruan tinggi seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk belajar akademik, tetapi juga sebagai lingkungan yang aman, inklusif, dan mendukung kesehatan mental para siswa. Sayangnya, sistem pendidikan yang ada saat ini sering kali lebih menekankan pencapaian nilai, kompetisi, dan target daripada keseimbangan emosional dan pengembangan karakter. Dalam banyak kasus, tekanan akademik malah menjadi salah satu penyebab utama gangguan kesehatan mental di kalangan remaja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun