Mohon tunggu...
fadel khatami
fadel khatami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Memiliki hobi membaca buku fiksi dan non fiksi, suka berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Money

Penyebab Lambatnya Perkembangan Fintech Syariah di Indonesia

12 Mei 2022   21:45 Diperbarui: 12 Mei 2022   21:52 2413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

FINTECH - Teknologi digital merupakan terobosan serta inovasi baru dalam seluruh kegiatan ekonomi. Hal tersebut dapat mempengaruhi sektor perdagangan, pertanian, dan secara khusus pada sektor keuangan. Salah satu sektor yang saat ini sedang gencar dikembangkan yaitu Financial Technology atau lebih dikenal dengan istilah Fintech yang menjadi inovasi terbaru masa kini. Teknologi finansial adalah bisnis yang berfokus pada penyedia gagasan jasa finansial yang menggunakan perangkat lunak dan modern. Fintech mengacu pada penggunaan teknologi untuk memberikan solusi dalam sektor keuangan.

Saat ini di dunia dan khususnya Indonesia, fintech terus mengalami peningkatan yang positif sehingga membuat banyak orang mulai memilih fintech untuk layanan transaksinya. Menurut data dari Darmin Nasution selaku mantan Menko Perekonomian, di antara banyaknya fintech yang berkembang, Peer-to-Peer (P2P) Lending adalah jenis fintech yang mengalami peningkatan cukup signifikan dibandingkan beberapa jenis fintech lainnya seperti payment, wealth management dan lainnya.

Namun, perkembangan atau peningkatan yang positif dan pesat itu sebenarnya masih didominasi oleh financial technology (fintech) konvensional. Adapun perkembangan fintech syariah masih sangat lah lambat jika dibandingkan dengan fintech konvensional. Bagaimana hal ini dapat terjadi? Padahal jika melihat jumlah penduduk  Indonesia yang mayoritas adalah muslim, seharusnya hal ini tidak terjadi. Bahkan, perkembangan fintech syariah di Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan Inggris yang notabenenya adalah Negara dengan penduduk mayoritas non muslim. Inggris juga sudah menjadi pusat bisnis dan keuangan syariah di kawasan Eropa dan bahkan dunia.

Tentunya hal ini sangat disayangkan mengingat potensi keuangan syariah khususnya fintech syariah juga sangat besar di Indonesia. Menurut penulis, sebenarnya penyebabnya tidaklah jauh berbeda jika dibandingkan dengan penyebab lambatnya perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Diperlukan langkah-langkah konkrit untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada dan hal ini wajib sebagai upaya untuk mempercepat perkembangan fintech syariah di Indonesia.

Jika kita melihat data per September 2021, menurut Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), jumlah fintech syariah di Indonesia yang memiliki izin atau terdaftar di OJK hanya ada 17. Hal ini sangatlah berat sebelah jika dibandingkan dengan jumlah fintech konvensional di Indonesia. Berdasarkan laporan United Overseas Bank (UOB), PwC, dan Singapore Fintech Association (SFA), jumlah perusahaan teknologi finansial (fintech) di Indonesia terus bertambah setiap tahunnya. Angkanya naik 3,56% menjadi 785 perusahaan fintech per September 2021. Jika pada periode tersebut fintech syariah hanya ada 17 fintech syariah, artinya ada sekitar 768 fintech konvensional sudah ada pada periode itu. Kemudian, menurut data OJK per Mei 2021, khusus fintech P2P Lending yang sudah terdaftar dan berizin sudah ada 131 perusahaan.

Berdasarkan data, tentunya hal tersebut sangat disayangkan mengingat peluang fintech syariah di Indonesia sangat besar terutama karena Indonesia memiliki kekuatan pendukung utamanya, yaitu Indonesia memiliki masyarakat mayoritas muslim dan terbanyak di dunia. Ada beberapa penyebab atau hambatan yang menjadi alasan dari lambatnya perkembangan fintech syariah di Indonesia. 

Pertama, kurangnya regulasi yang mengatur fintech syariah di Indonesia. Kedua, masih kurangnya modal dan infrastruktur pendukung fintech syariah. Kemudian yang ketiga adalah rendahnya literasi keuangan masyarakat Indonesia tentang keuangan syariah, terkhusus lagi dalam hal ini adalah fintech syariah.

Regulasi adalah suatu peraturan yang dirancang, dirumuskan, disusun atau dibuat sedemikian rupa untuk membantu mengendalikan suatu kelompok masyarakat, lembaga, organisasi, dan perusahaan dengan tujuan tertentu. Ada enam fungsi regulasi yang umumnya dapat dirasakan oleh pihak yang mengimplementasikannya: 1) memberikan batasan dan kendali yang lebih besar; 2) menciptakan lingkungan yang berasa damai dan tentram; 3) melindungi hak dan kewajiban dari pihak yang merasakannya; 4) memberikan arahan dalam bertingkah laku; 5) dapat membantu untuk mencapai tujuan bersama; dan 6) meningkatkan disipilin sehingga tidak akan merugikan sesama.

Dari aspek aturan, regulasi tentang fintech masih sangat minim dibandingkan dengan regulasi lembaga keuangan lainnya. Khususnya dari aspek aturan syariah yang masih memerlukan banyak amandemen terhadap aturan-aturannya. Diperlukan instrumen regulasi yang komprehensif dalam rangka melindungi proses kerja industri fintech syariah serta para pihak yang terlibat di dalamnya. Adanya aturan yang memayungi keberadaan fintech syariah dari segi bentuk usaha, model bisnis sampai dengan operasionalisasinya akan dapat memberikan rasa aman stakeholder fintech syariah.

Kita juga perlu mengambil perbandingan dengan Malaysia dan Inggris dengan melihat beberapa aspek dalam penyusunan model regulasi fintech. Pertama, Malaysia mampu membuktikan kapabilitasnya dalam menangani dan menciptakan kondisi ekosistem fintech syariah yang kolaboratif melalui pembentukan regulasi yang berpihak pada perlindungan para pihak yang terlibat di dalamnya. Begitu juga, komitmen pemerintah Malaysia dalam hal tersebut diperkuat dengan adanya lembaga-lembaga khusus yang memang secara spesifik memiliki fungsi untuk mendukung dan memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan industri fintech syariah di Malaysia. Kedua, Inggris memiliki regulasi fintech yang efisien dan transparan serta terdapat regulator penting yang inisiatifnya telah berpengaruh di seluruh dunia.

Fintech syariah di Indonesia masih terasa hampa regulasi hukum. Keberadaan fintech sejatinya membutuhkan regulasi yang tidak lagi semata-mata tergantung pada entitas/intermediari (entity-based regulation), melainkan memberikan proporsi yang lebih pada regulasi berbasis aktivitas (activity-based regulation). Regulasi yang mengatur fintech saat ini yaitu Peraturan OJK (POJK) Nomor: 77/POJK.01/ 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang diterbitkan pada akhir Desember 2016 lalu. Akan tetapi, peraturan tersebut hanya mengatur mengenai pembiayaan fintech dengan sistem konvensional dan belum mengatur sistem syariah yang saat ini juga sudah mulai berkembang. Di samping itu, fintech syariah juga harus menaati Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor: 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah. Di lain pihak, Bank Indonesia juga telah menetapkan regulasi bagi para penyelenggara fintech yang aktivitasnya terkait dengan sistem pembayaran. Beberapa regulasi yang dikeluarkan baik itu dari OJK maupun Bank Indonesia masih ada ketidakjelasan pemisahan antara aturan untuk fintech konvensional dan fintech syariah. Oleh karena itu, perlu ada ketegasan dari pemerintah untuk dapat melindungi fintech di Indonesia dengan satu payung peraturan (regulatory umbrella). Selain itu, tidak seperti bank yang memiliki lembaga penjamin simpanan, fintech belum memiliki lembaga penjaminan bagi para lender.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun