Mohon tunggu...
Exti Budihastuti
Exti Budihastuti Mohon Tunggu... PNS -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pedasnya Cabe Rawit di Pasar Pucung Terasa Sampai ke Lubuk Hati

6 Februari 2017   14:15 Diperbarui: 6 Februari 2017   14:21 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Minggu kemarin kulewati dengan sukses. Pagi hari aku ikut senam jantung sehat, lalu pergi ke pasar, masak menu baru, tidur siang, dan menikmati kudapan sore buatan Dinda. Walau sukses, ada kejadian kecil yang membuatku termenung. Pedasnya cabe di pasar Pucung telah membuatku termenung, benarkah penampilan seseorang mempengaruhi isi dompetnya?

Minggu lalu itu sudah kali ketiga aku ikut Senam Jantung Sehat di Klinik Zam-Zam. Biasanya, setelah senam, aku dijemput suamiku lalu pergi ke Pasar Pucung. Buat aku yang tiap hari Senin--Jumat berangkat ke kantor, hari Minggu memang saat yang tepat untuk ke pasar. Kenapa bukan Sabtu? Karena hari Sabtu suamiku masuk kantor. Kenapa harus diantar? Karena tidak ada angkutan umum yang langsung dari perumahanku ke pasar. Ojek? Kalau tidak terpaksa, aku tidak akan naik ojek.

Namun demikian, minggu lalu itu ada yang tidak biasa; pulang senam aku tidak dijemput suamiku. Ada acara keluarga tetangga dekat rumahku yang menutup jalan mobil tapi sudah kuketahui sejak tiga hari yang lalu. Jalan ditutup mulai pukul 07.00 sampai sekitar pukul 14.00. Pukul 06.30 aku masih bisa diantar suami untuk senam. Berarti pulang senam aku ke pasar naik angkot!

Karena sudah niat naik angkot, aku tidak pakai cincin-cincinku dan membawa uang secukupnya. Sudah kuperkirakan cukup untuk membeli sayur dan lauk yang aku rencanakan untuk satu minggu. Rencananya aku akan membeli ikan lele, ikan selar, ikan nila, sayur lodeh, tahu tempe untuk bacem, serta wortel dan timun dan segala macam bumbu untuk membuat acar bumbu kuning.

Setelah hampir kuhabiskan uang yang kubawa, aku ingat harus membeli cabe rawit, cabe rawit merah untuk campuran cabe merah yang sudah kubeli untuk sambal dan  cabe rawit hijau untuk acar bumbu kuning. Sedikit saja karena selain aku tak suka pedas, aku tahu cabe memang sedang mahal. Lagi pula, sisa uangku harus kusiapkan untuk ongkos naik angkot, naik ojek, dan jajan pasar di ujung jalan. Aku mau beli cabe rawit Rp5.000,00 saja….

Di bagian depan pasar, dekat tempat parkir mobil, aku mendekati kios sayuran. Tidak banyak orang, hanya ada satu pembeli lain. Dengan sabar kutunggu ibu penjual sayur melayani pembeli itu. Lalu dengan suara pelan aku berkata, “Bu, minta cabe rawitnya…” sambil kusodorkan uang lima ribuan. Mau kujelaskan bahwa aku minta sedikit saja… tapi tidak sempat! Ibu penjual cabe itu menjawab, “Beli aja di tempat lain…”

Astaghfirullah… setelah sempat tertegun, aku segera berpindah tempat. Tidak mau diperlakukan hal yang sama, aku mulai kata-kata, “Bu, berapa boleh beli cabe rawit?” Ternyata satu ons cabe rawit Rp15.000,00. Aku beli setengah ons saja, cabe rawit merah campur dengan cabe rawit hijau. Alhamdulillah…

Akhirnya selesai juga acara belanjaku. Sambil berjalan menuju angkutan kota, aku kembali menatap penjual cabe yang tidak mau melayaniku. Apa yang salah…? Karena aku menyodorkan uang Rp5.000,00 untuk membeli cabe? Ataukah penampilanku yang kurang menyakinkan kalau aku bisa membeli cabe lebih dari itu?

Kulihat penampilanku. Untuk senam, aku pakai sepatu Bucheri merah lusuh, celana training putih tulang, kaos merah dengan manset hitam, dan kerudung prisket putih. Lusuh ya? Atau karena lipstick yang kupakai sudah terhapus oleh air mineral? Atau karena cincin-cincinku tak kupakai? Biasanya memang ada tiga cincin melekat di jariku. Atau karena jam tangan Alexander Christy-ku tak kupakai…(cuma punya satu!)? Tidak tahukah penjual sayur itu kalau tas gudi yang kubawa ini bermerk Revlon, yang kudapat dari pembelian produk Revlon seharga tertentu? Biasanya mobil suamiku parkir di depan kiosnya…

Kalau aku yang salah ngomong, sebenarnya ibu penjual cabe itu bisa berkata,”Lima ribu ga cukup Bu, satu ons aja lima belas ribu…” atau apalah ... yang tidak meyakitkan hati. Seingatku, kemarin kios tidak sibuk. Penjualnya berperawakan gemuk, tinggi, berhijab gaya turban, berarti dia muslimah. Aku juga menunggu sampai dia selesai meneguk es teh. Ternyata pilihan kata yang kupakai tidak berbalas dengan baik…

Pedasnya cabe rawit di Pasar Pucung telah membuat  hatiku terluka.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun