Mohon tunggu...
Evy Sofia
Evy Sofia Mohon Tunggu... -

seorang manusia biasa yang masih butuh banyak belajar dan ingin dapat berbagi ilmu bagi sesama... \r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cukup Satu Buku untuk Jatuh Cinta

4 Mei 2016   16:15 Diperbarui: 10 Mei 2016   14:58 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Hasil Karya Murid"][/caption]

Memiliki masa kecil yang penuh kenangan indah tentang buku sangat membekas dalam benak saya. Semua ini gara-gara bapak. Bapak merupakan sosok seorang guru, namun kehadirannya tidak untuk menggurui. Cara beliau membuat anak-anaknya gemar membaca termasuk unik. Bukan dengan paksaan, perintah, atau bahkan permintaan.

Masih segar dalam ingatan betapa gembiranya hati ini saat menemukan majalah anak berwarna-warni di atas tempat tidur. Di sana kadang ada satu buah majalah, kadang lebih. Begitu setiap pekan beliau lakukan kebiasaan ini secara rutin pada saya yang belum lagi menginjak usia 5 tahun. Selayaknya anak kecil yang lain, stimulus berupa buku penuh warna tentunya sangat menarik. Rasa tertarik membuat saya mulai membuka lembar demi lembarnya. Ternyata isinya menggugah rasa penasaran saya. Ada cerita bergambar, ada lembar mewarnai, ada cerita pendek, ada lembar serupa tapi tak sama, dan rubrik menarik lainnya. Jatuh cinta, begitulah yang saya rasakan saat itu. 

[caption caption="koleksi buku di perpustakaan pribadi"]

[/caption]

Saya mulai menyukai buku dengan deretan aksara dan gambarnya. Saya pun menyukai cara bapak membuat saya menggilai buku. Tanpa banyak suara bernada perintah, namun cara bapak sangatlah efektif. Dekatkanlah anak dengan buku, tumbuhkan rasa sukanya, membacalah bersamanya, dan membuka dirilah sebagai tempat bertanya. Semua ajaran dari pegiat literasi modern telah diterapkan oleh bapak lewat tindakan nyata lebih dari 30 tahun yang lalu. 

Perasaan positif dan kesan yang menyenangkan terhadap buku benar-benar terbawa hingga kini. Bisa dikatakan saya tumbuh dewasa dengan kegemaran yang mendalam pada kegiatan membaca. Ingin rasanya saya melihat anak-anak Indonesia juga menggemari dunia aksara. Di sisi lain timbul kegalauan di hati saat mengetahui fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Menurut data dari UNESCO, tingkat minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah. Hanya ada 1 dari 1000 orang yang memiliki minat baca tinggi. Lebih lanjut riset terbaru mengenai literate behaviour di berbagai negara, Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara yang diikutkan di dalam riset tersebut (https://www.facebook.com/grcc2016/?fref=ts) 

Data statistik boleh berbicara demikian, namun impian untuk menjadikan anak Indonesia gemar membaca tidak pernah luntur dari pikiran saya. Perjalanan hidup menuntun saya menjadi seorang guru. Hal ini semakin memudahkan saya untuk mewujudkan impian yang senantiasa menggoda. Saya berpikir saya harus berani mengawali untuk mengambil langkah. Langkah kecil pun tak mengapa. Bukankah perjalanan mengelilingi dunia juga dimulai dari langkah pertama?

Dari kelas saya memulai semuanya. Berusaha mendekatkan buku pada murid menjadi kebiasaan baru yang menantang. Tidak mudah, sungguh tidak mudah mengubah mereka yang memiliki hobi bermain game online atau berselancar di jejaring sosial menjadi sosok yang mau menekuni lembar-lembar sunyi berhias aksara. 

[caption caption="asik membaca "]

[/caption]

Jadilah seribu satu cara saya kerahkan. Memberikan tugas yang mengharuskan mereka membaca biografi tokoh inspiratif seringkali saya berikan. Saya bebaskan mereka memilih tokoh yang paling berkesan buat mereka, mulai tokoh dalam bidang politik, olahraga, agama, kemanusiaan, sampai kesehatan. Setelah kelar membaca nukilan perjalanan hidup sang tokoh, saya minta mereka menceritakannya di depan kelas. 

Saya buka kran diskusi selebar-lebarnya. Saya biarkan murid-murid yang lain untuk bertanya tentang kisah tokoh yang dibaca oleh temannya. Saya berikan kesempatan pula pada mereka yang mengkritisi cerita hidup sang tokoh. Sesi mengupas sisi positif dan negatif sang tokoh dalam buku ini biasanya berjalan dengan seru. Sahut-sahutan dalam berpendapat bukanlah suatu kebisingan yang saya benci, justru saya menyukai suasana kelas yang hidup karena murid berani mengemukakan isi pikirannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun