Di zaman ketika murid lebih percaya Google, peran guru bukan lagi soal siapa yang paling tahu tapi siapa yang paling bisa hadir dan memahami.
Ketika Anak-Anak Lebih Percaya Mesin daripada Manusia
Di sebuah kelas, seorang siswa saya mengangkat tangan dan berkata pelan,
"Tapi, Google bilang bukan begitu, Pak."
Kalimat itu tidak terdengar menantang atau sinis. Tapi anehnya, saya merasa seperti runtuh di dalam. Seolah suara saya (yang saya pelajari, persiapkan, dan yakini) tidak lagi cukup dipercaya. Seolah saya kalah oleh mesin pencarian yang tak pernah lelah menjawab.
Dan sejak hari itu, saya sering diam cukup lama setelah menjelaskan sesuatu. Bukan karena saya ragu akan materi, tapi karena saya tahu: satu penjelasan dari saya bisa langsung dibandingkan dengan ribuan link dalam hitungan detik.
Kadang saya menatap wajah-wajah mereka. Penuh rasa ingin tahu, tapi juga tak sabar. Seolah berkata:
"Kami percaya, Pak... tapi biarkan kami pastikan dulu ke internet."
Apa Artinya Menjadi Guru di Era Mesin Jawaban?
Anak-anak bukan kehilangan rasa hormat. Mereka hanya hidup di dunia yang jawabannya terlalu mudah didapat.
Saya tidak ingin menyalahkan mereka. Tidak juga menyalahkan Google. Dunia mereka memang berbeda. Saat saya kecil, jika guru bilang A, maka A-lah yang kita catat. Tak ada yang repot bertanya, "Apakah itu juga berlaku di kutub?"
Sekarang? Sekali klik, semua bisa dipertanyakan. Semua bisa dibantah.
Mungkin ini bukan soal siapa yang salah. Tapi soal siapa yang tetap hadir.
Karena yang dibutuhkan bukan kebenaran mutlak, melainkan keberanian untuk bersama mencari arah.