Saya pernah duduk di bangku itu. Bangku kayu tua dengan paku-paku mencuat dan goresan nama anak-anak yang mungkin sudah lupa pernah menulisnya.
Itu bukan metafora. Itu bangku sungguhan. Saya duduk di sana bertahun-tahun lalu, saat hujan masih mudah membuat atap sekolah kami bocor, dan kami lebih sering belajar sambil menggeser meja agar tidak kena cipratan. Di kelas itu, kami belajar tentang sudut, kata penghubung, dan pahlawan nasional. Semuanya dari buku paket yang lebih sering tersimpan rapi di laci, tak sempat kami buka kecuali saat ulangan tiba.
Saya ingin mulai dari sini karena ada yang ingin saya ceritakan. Bukan tentang saya. Tapi tentang anak-anak yang masih duduk di bangku itu sekarang.
Bagaimana Rasanya Tumbuh di Sekolah yang Bangkunya Retak?
Saya tahu rasanya. Dan saya yakin, kamu juga tahu atau setidaknya, pernah melihatnya.
Bangku itu tidak hanya retak karena usia. Ia menyimpan beban tubuh yang tumbuh terlalu cepat untuk ukuran kelas yang terlalu sempit. Di bangku itu, anak-anak menuliskan harapan dengan pensil tumpul dan mimpi yang belum sempat diberi warna.
Kata orang, pendidikan adalah jalan menuju masa depan. Tapi bagaimana jika jalan itu berlubang? Apa jadinya masa depan bila bangkunya retak, bukunya usang, dan guru datang dengan raut lelah karena honor belum turun?
Anak-anak tak pernah kekurangan cita-cita. Tapi sistem yang membuat mereka kehabisan cara untuk mencapainya.
Saya pernah mendengar seorang anak berkata: "Pak, saya ingin jadi dokter, tapi tak ada uang untuk ke SMA." Kalimat itu seperti ditelan angin. Tak ada yang mencatat. Tak ada yang menjawab.
Saya yang mendengarnya hanya bisa mengangguk pelan. Bukan karena setuju, tapi karena tak tahu harus menjawab apa.
Apa yang Tertinggal di Kolong Meja?
Kolong meja itu tempat yang sering kami pakai menyimpan apa pun: sendal jepit, sisa kue dari bekal, kertas ulangan, kadang juga mimpi.
Mimpi yang mulai menguning karena terlalu lama menunggu giliran. Di bawah meja, kami sering diam-diam menangis, atau menggambar masa depan yang hanya bisa kami lihat diam-diam, karena terlalu mewah untuk diucapkan.
Saya masih ingat, ada seorang teman bernama Riko. Ia pandai sekali menggambar. Tapi tak pernah dapat nilai tinggi karena menggambarnya bukan di jam pelajaran. Ia menggambar di ujung buku paket, yang seharusnya untuk latihan soal. Suatu hari, ia bilang, "Kalau besar saya mau kerja di kota dan bikin komik sendiri."