Aku Tak Pernah Melupakannya
Aku tidak ingat rumus trigonometri. Tidak hafal siapa yang dulu juara kelas di tahun-tahun awal sekolah. Tapi aku ingat persis satu sosok: beliau yang tak pernah memelukku secara fisik, namun entah bagaimana, berhasil membuatku merasa sangat dipeluk. Dalam-dalam. Hangat dan lama.
Namanya Bu Lilis. Seorang guru Bahasa Indonesia di SMP-ku dulu. Wajahnya biasa saja, tidak memakai riasan, bajunya pun selalu sederhana. Tapi caranya memandang anak-anak seperti aku yang duduk di bangku pojok dan takut bicara itu tidak biasa. Tatapannya seperti pelindung. Seolah berkata, "Aku di sini. Aku lihat kamu. Aku dengar kamu."
Pernah suatu siang, ketika aku tersedak menjawab pertanyaannya, ia berjalan mendekat perlahan. Tangannya mengetuk lembut meja kayuku dua kali. Tok, tok ! Seolah kode rahasia: "Tenang, aku menunggumu." Gerakan kecil itu menenangkan. Membuatku tahu bahwa aku tak harus sempurna untuk didengar.
Padahal, aku yakin Bu Lilis tahu aku bukan siswa yang menonjol. Nilai matematikaku pas-pasan, tubuhku kurus dan sering terserang flu. Aku bukan tipe murid yang membuat guru bangga dalam rapor. Tapi Bu Lilis tidak mencari yang menonjol. Ia mencari yang terselip.
Ini Bukan Sekadar tentang Guru
Belakangan aku sadar: Bu Lilis mengajariku bahwa guru sejati bukan sekadar pengantar kurikulum. Mereka adalah penguat, penyembuh luka tanpa kata, dan penunjuk arah di tengah kabut pencarian.
Suatu hari, ketika aku lupa membawa tugas cerpen, aku bersiap untuk mendengar marah. Tapi Bu Lilis hanya duduk, membaca mataku yang penuh panik, lalu berkata pelan, "Kamu ingin cerita?"
Aku bingung. Cerita tentang apa? Tapi kalimat itu seperti pintu yang dibuka tanpa paksa. Dan di sanalah, pertama kalinya dalam hidupku, aku menangis di hadapan guru. Bukan karena nilai. Tapi karena ada seseorang yang benar-benar ingin tahu bagaimana perasaanku.
"Pelukan" yang Tak Terlihat, Tapi Terasa
Ada murid yang butuh dipeluk secara harfiah. Tapi lebih banyak murid seperti aku, yang butuh disentuh perhatiannya, bukan pundaknya.
Dan Bu Lilis ahli dalam itu. Ia tidak menyuruhku berhenti menangis, tidak sibuk memberi solusi. Ia hanya diam. Menyodorkan tisu. Mengangguk.
Pernahkah kamu merasa didengar tanpa harus banyak bicara? Itu pengalaman langka. Dan sangat mahal.