Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guruku, Ahli Memeluk Tanpa Sentuhan

17 Juni 2025   18:52 Diperbarui: 17 Juni 2025   18:52 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah buku tulis lama berisi puisi dengan catatan tangan guru di pojok halaman—jejak kecil yang menyulut semangat besar. (Pexels)

Aku Tak Pernah Melupakannya

Aku tidak ingat rumus trigonometri. Tidak hafal siapa yang dulu juara kelas di tahun-tahun awal sekolah. Tapi aku ingat persis satu sosok: beliau yang tak pernah memelukku secara fisik, namun entah bagaimana, berhasil membuatku merasa sangat dipeluk. Dalam-dalam. Hangat dan lama.

Namanya Bu Lilis. Seorang guru Bahasa Indonesia di SMP-ku dulu. Wajahnya biasa saja, tidak memakai riasan, bajunya pun selalu sederhana. Tapi caranya memandang anak-anak seperti aku yang duduk di bangku pojok dan takut bicara itu tidak biasa. Tatapannya seperti pelindung. Seolah berkata, "Aku di sini. Aku lihat kamu. Aku dengar kamu."

Pernah suatu siang, ketika aku tersedak menjawab pertanyaannya, ia berjalan mendekat perlahan. Tangannya mengetuk lembut meja kayuku dua kali. Tok, tok ! Seolah kode rahasia: "Tenang, aku menunggumu." Gerakan kecil itu menenangkan. Membuatku tahu bahwa aku tak harus sempurna untuk didengar.

Padahal, aku yakin Bu Lilis tahu aku bukan siswa yang menonjol. Nilai matematikaku pas-pasan, tubuhku kurus dan sering terserang flu. Aku bukan tipe murid yang membuat guru bangga dalam rapor. Tapi Bu Lilis tidak mencari yang menonjol. Ia mencari yang terselip.

Ini Bukan Sekadar tentang Guru

Belakangan aku sadar: Bu Lilis mengajariku bahwa guru sejati bukan sekadar pengantar kurikulum. Mereka adalah penguat, penyembuh luka tanpa kata, dan penunjuk arah di tengah kabut pencarian.

Suatu hari, ketika aku lupa membawa tugas cerpen, aku bersiap untuk mendengar marah. Tapi Bu Lilis hanya duduk, membaca mataku yang penuh panik, lalu berkata pelan, "Kamu ingin cerita?"

Aku bingung. Cerita tentang apa? Tapi kalimat itu seperti pintu yang dibuka tanpa paksa. Dan di sanalah, pertama kalinya dalam hidupku, aku menangis di hadapan guru. Bukan karena nilai. Tapi karena ada seseorang yang benar-benar ingin tahu bagaimana perasaanku.

"Pelukan" yang Tak Terlihat, Tapi Terasa

Ada murid yang butuh dipeluk secara harfiah. Tapi lebih banyak murid seperti aku, yang butuh disentuh perhatiannya, bukan pundaknya.

Dan Bu Lilis ahli dalam itu. Ia tidak menyuruhku berhenti menangis, tidak sibuk memberi solusi. Ia hanya diam. Menyodorkan tisu. Mengangguk.

Pernahkah kamu merasa didengar tanpa harus banyak bicara? Itu pengalaman langka. Dan sangat mahal.

Ketika Guru Menjadi Cermin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun