Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengajar untuk Membebaskan, Bukan untuk Menjinakkan

13 Juni 2025   19:25 Diperbarui: 13 Juni 2025   19:25 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku pernah melihat seorang guru berdiri di depan kelas, wajahnya tegas, suaranya keras, dan setiap murid duduk membatu seolah mereka tak boleh bergerak sedikit pun. 

Setiap kata yang keluar dari mulut sang guru seperti perintah militer. Tidak ada tanya-jawab. Tidak ada ruang untuk salah. Dan tentu saja, tidak ada ruang untuk bernapas. 

Aku bukan murid di kelas itu, tapi rasanya sesak hanya dengan menyaksikannya dari pintu.

Lalu aku berpikir, ini kelas atau kandang?

Tapi ini bukan cuma tentang cara mengajar yang kaku.

Ini tentang sesuatu yang jauh lebih besar. Sesuatu yang diam-diam telah menjalar begitu dalam di dunia pendidikan: keinginan untuk menjinakkan, bukan membebaskan.

Padahal, bukankah tugas guru adalah memerdekakan pikiran, bukan mengikatnya? Bukankah ruang kelas seharusnya menjadi tempat di mana rasa ingin tahu tumbuh liar, bukan tempat di mana anak-anak dilatih untuk patuh tanpa tanya?

Mari kita tarik napas, dan buka mata lebar-lebar.

Sekolah: Pabrik atau Ladang?

Bayangkan ini: seorang murid datang ke sekolah dengan ide liar tentang cara membuat sepeda yang bisa berjalan di air. 

Tapi alih-alih didorong untuk mengeksplorasi, ia diberi lembar kerja tentang roda dan katrol, lalu diminta duduk diam mengikuti instruksi. Tidak boleh ke mana-mana. Tidak boleh gagal.

Di banyak sekolah, kreativitas bukanlah mata pelajaran. Ia hanya muncul sebagai hiasan di pojok kelas, di pajangan hasil karya murid yang sudah diseleksi rapi. 

Kita lebih sering merayakan hasil akhir daripada proses. Kita lebih sering menilai murid dari seberapa baik mereka menghafal, bukan dari seberapa dalam mereka berpikir.

Dan itulah akar masalahnya.

Ketika sekolah menjadi pabrik, kita hanya melahirkan produk. Tapi ketika sekolah menjadi ladang, kita sedang menumbuhkan manusia.

Murid Bukan Kerbau

Aku pernah mendengar seorang guru berkata, "Murid itu seperti kerbau. Harus ditarik pakai tali agar jalan."

Kalimat itu membuatku diam lama.

Mungkin maksudnya baik. Tapi analoginya keliru.

Murid bukan kerbau. Mereka manusia. Mereka bukan hewan jinak yang bisa diarahkan dengan cambuk atau tali. Mereka punya keinginan, rasa ingin tahu, ketakutan, mimpi, dan luka.

Dan lebih dari itu, mereka punya potensi.

Tugas guru bukan menuntun mereka ke padang rumput yang sudah ditentukan, tapi membekali mereka dengan kompas, agar mereka tahu ke mana kaki harus melangkah.

Ketika Guru Takut Kehilangan Kontrol

Mengajar itu tidak mudah. Aku tahu itu.

Ada rasa takut kehilangan kendali. Takut kelas jadi ricuh. Takut murid tidak menghormati. Takut nilai ujian turun. Takut kepala sekolah menegur. Takut orangtua protes.

Tapi ketakutan itu kalau tidak dihadapi bisa membuat kita berubah dari pendidik menjadi pengendali.

Kita mulai mengatur segala hal. Jam masuk. Cara duduk. Warna seragam. Gaya menulis. Cara berbicara. Bahkan cara murid bermimpi pun ingin kita atur.

Padahal, pendidikan bukan tentang kendali. Pendidikan adalah tentang kepercayaan.

Meja Guru Bukan Mimbar

Ada guru yang merasa harus selalu benar. Selalu lebih tahu. Selalu paling bijak. Murid hanya pendengar. Tak boleh menyela.

Tapi kita lupa bahwa murid bukan gelas kosong. Mereka bukan wadah yang siap diisi pengetahuan dari guru.

Mereka adalah api kecil. Yang kadang redup. Yang kadang hampir padam. Tapi selalu punya potensi untuk menyala.

Kita hanya perlu meniupkan angin.

Kita hanya perlu menyodorkan percikan.

Mengajar dengan Rasa Takjub

Aku pernah mengajar seorang anak yang suka sekali bertanya. Kadang pertanyaannya aneh, seperti "Kalau bumi ini bulat, kenapa kita nggak jatuh?" atau "Kenapa kita nggak bisa melihat udara?"

Aku tidak selalu tahu jawabannya. Tapi aku belajar untuk tidak malu berkata, "Aku belum tahu. Ayo cari tahu bareng."

Itulah momen di mana aku benar-benar merasa mengajar. Bukan karena aku memberikan jawaban, tapi karena aku menemani pencarian.

Mengajar bukan soal membagikan semua yang kita tahu.

Mengajar adalah soal menjaga rasa takjub itu tetap hidup.

Pendidikan yang Membebaskan

Aku teringat kata-kata Paulo Freire: 

Education either functions as an instrument that is used to facilitate integration of the younger generation into the logic of the present system and bring about conformity... or it becomes the practice of freedom.

Dalam bahasa yang lebih sederhana: pendidikan bisa menjinakkan, atau membebaskan.

Menjinakkan membuat murid hanya jadi pengikut. Murid yang tahu cara menjawab soal, tapi bingung ketika ditanya tentang hidup. Murid yang fasih menjelaskan teori, tapi gagap mengambil keputusan. Murid yang takut salah, karena selalu dituntut sempurna.

Tapi pendidikan yang membebaskan... ah, ia membuka jendela.

Ia membuat murid berani bertanya.
Ia menumbuhkan kepercayaan diri.
Ia menghargai proses.
Ia memberi ruang untuk gagal dan bangkit.
Ia menjadikan kelas tempat yang hangat---bukan dingin oleh tekanan, atau kaku oleh aturan.

Di Kelas yang Sering Berantakan

Aku tidak akan berdusta.

Kelas yang membebaskan tidak selalu rapi. Kadang berisik. Kadang penuh tanya yang sulit. Kadang ada pertengkaran ide. Kadang ada tangis karena merasa gagal. Tapi di sanalah kehidupan berlangsung.

Kita tidak sedang membentuk pasukan. Kita sedang menemani tumbuhnya manusia.

Dan manusia itu... ya, memang tidak pernah seragam.

Menjadi Guru yang Tidak Sempurna

Aku sendiri masih belajar.

Masih sering ingin buru-buru.
Masih kadang merasa kesal.
Masih terjebak dalam pikiran bahwa aku harus selalu terlihat pintar.

Tapi aku mencoba. Sedikit demi sedikit. Mengganti perintah dengan ajakan. Mengganti hukuman dengan pemahaman. Mengganti kekakuan dengan kehangatan.

Karena aku percaya: pendidikan bukan tentang mengukir batu, tapi menumbuhkan benih.

Dan Pada Akhirnya...

Mungkin kita tidak bisa mengubah sistem dalam semalam. Tapi kita bisa menciptakan ruang kecil yang berbeda.

Satu kelas. Satu pertemuan. Satu percakapan.

Kita bisa mulai dari mendengarkan.
Dari menghargai pertanyaan sederhana.
Dari memperlakukan murid bukan sebagai kerbau, tapi sebagai manusia utuh.

Dan siapa tahu dari ruang kecil itulah, kita menyalakan api yang perlahan menjalar. Menghangatkan ruang-ruang belajar lain. Membangkitkan harapan. Menyalakan mimpi.

Bukan untuk menjinakkan.
Tapi untuk membebaskan.

Karena mengajar, seharusnya bukan soal mengisi kepala. Tapi tentang membuka pintu.

Dan tugas kita hanya satu:

Jangan kunci pintu itu rapat-rapat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun