Dulu aku mengira mengajar adalah tentang bicara, menyampaikan ilmu, dan berharap murid mendengarkan. Sekarang aku tahu, mengajar yang sebenarnya justru tentang mendengar.
Ketika Aku Duduk di Kursi Guru untuk Pertama Kali
Hari pertama aku mengajar masih membekas seperti bekas luka yang tak kunjung pudar. Bukan luka yang menyakitkan, tapi lebih seperti bekas cakaran kehidupan yang mengingatkanku: aku pernah sangat takut, sangat ragu, sangat ingin mundur.
Aku berdiri di depan kelas dengan suara yang nyaris bergetar. Ada 32 pasang mata menatapku. Beberapa antusias. Beberapa lelah. Beberapa acuh. Aku menyapa mereka dengan suara tercekat, mencoba menyembunyikan gugupku dengan senyum setengah jadi. "Selamat pagi. Nama saya..."
Dan saat itulah aku sadar, mereka bukan hanya akan menjadi muridku. Mereka juga akan menjadi cermin, guru, bahkan kritik yang paling jujur.
Belajar yang Tidak Ada di Modul Pelatihan
Tidak ada yang mengajarkan kita bagaimana memahami anak yang diam sepanjang pelajaran. Tidak ada panduan tentang bagaimana merespons tatapan kosong yang menyimpan cerita rumah yang kacau. Tidak ada SOP untuk menangani siswa yang bertanya bukan untuk tahu, tapi untuk sekadar diperhatikan.
Di sinilah aku belajar, bahwa ruang kelas bukan hanya tempat transfer ilmu. Ia adalah ruang pertemuan dua arah: antara yang ingin tahu dan yang seharusnya mendengar, antara yang mencari makna dan yang mestinya memberi ruang.
Dan kadang, aku harus mengakui: muridlah yang lebih dulu mengajarkan aku.
Ketika Siswa Bertanya Lebih Dalam dari Silabus
"Pak, kenapa kita harus sekolah kalau ujung-ujungnya tetap susah cari kerja?"
Aku terdiam. Lalu tertawa kecil. Bukan karena pertanyaannya lucu, tapi karena aku juga pernah menanyakannya, bertahun-tahun lalu. Pertanyaan itu tidak ada di kisi-kisi ujian, tidak ada jawabannya di buku paket. Tapi ada di hati kita semua.
Mungkin inilah momen ketika aku benar-benar jadi guru: ketika aku berhenti memberi jawaban, dan mulai membuka ruang untuk bertanya bersama.