Â
Kelas itu bukan sekadar ruang berisi meja dan papan tulis. Ia adalah lanskap kecil yang menyimpan ribuan cerita.
Cerita tentang anak-anak yang datang dengan ransel penuh beban, bukan cuma buku pelajaran, tapi juga keresahan yang tak mereka tahu bagaimana cara menyebutnya. Saya tahu itu, karena saya ada di sana. Setiap hari.
Betapa seringnya kita menonton media social. Disana, kita temukan banyak konten yang ramai membahas tentang seorang siswa yang dihukum karena tak bisa menjawab soal sederhana di depan kelas.
Video-video ini sangat viral. Tapi yang tak terekam kamera adalah jantung yang berdebar, tangan yang berkeringat, dan segumpal rasa malu yang akan ia bawa pulang. Kelas itu, hari itu, jadi panggung rasa takut.
Saat Semua Terlihat Biasa-Biasa Saja
Saya pernah berdiri di depan kelas dengan wajah yang dibuat tegar, padahal dada ini ikut sesak melihat seorang anak terdiam terlalu lama saat ditanya.
Ia bukan tak tahu, saya yakin. Tapi mungkin, seperti banyak dari kita, ia sedang menimbang rasa aman dan rasa malu mana yang lebih pantas dipilih hari itu.
Kita sering lupa, kelas bukan hanya tempat belajar rumus dan teori. Ia juga tempat di mana anak-anak belajar mengenal diri.
Mereka belajar bagaimana cara bicara saat suaranya gemetar, bagaimana menyimpan air mata agar tak terlihat lemah, dan bagaimana tetap duduk tegak saat hatinya ingin berlari.
Mereka Tertawa, Tapi Ada yang Mereka Sembunyikan
Pernah suatu kali, saya melihat sekelompok siswa tertawa lepas setelah pelajaran. Lucu, pikir saya, betapa riang mereka.
Tapi beberapa menit kemudian, saya melihat salah satu dari mereka duduk sendiri di tangga belakang sekolah. Kepalanya tertunduk. Ia bilang, "Saya ketawa tadi biar nggak kelihatan sedih, Pak."
Saya terdiam. Lalu ikut duduk di sampingnya. Dalam diam itu, saya sadar: ada banyak hal yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi bisa dirasakan dengan empati.
Kelas, sekali lagi, bukan sekadar tempat menghafal materi. Ia juga ruang di mana siswa belajar menyembuhkan.
Cemas yang Tak Diundang, Tapi Selalu Hadir
Saya sering bertanya pada diri sendiri, berapa banyak anak yang masuk ke kelas dengan perasaan tidak cukup pintar? Tidak cukup baik? Tidak cukup pantas?
Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbudristek), angka siswa yang mengalami kecemasan akademik meningkat. Tekanan untuk berprestasi, ketakutan akan kegagalan, serta dinamika sosial di sekolah menjadi pemicu utama.
Dan sayangnya, kecemasan itu sering tak terlihat. Ia menyamar dalam bentuk anak yang terlalu pendiam, atau justru yang terlalu cerewet.
Ia menyelinap lewat tawa yang dipaksakan, atau jawaban yang terdengar asal-asalan agar tak terlihat bodoh.
Doa-doa yang Tak Pernah Terucap
Ada satu hal yang membuat saya selalu merasa kecil setiap kali berdiri di depan kelas: saya tahu, saya tidak tahu segalanya.
Ada banyak hal yang tak bisa saya bantu. Tapi saya percaya, tiap pagi, ada doa-doa yang tak terucap yang ikut masuk ke kelas bersama anak-anak itu.
Doa agar hari ini tidak dimarahi. Doa agar bisa menjawab dengan lancar. Doa agar tidak ada yang menertawakan.
Saya percaya, guru bukan penyelamat. Tapi kita bisa jadi pelipur. Kita mungkin tak bisa menyembuhkan semuanya, tapi kita bisa membuat kelas terasa lebih aman untuk menjadi diri sendiri.
Ketika Nilai Bukan Satu-satunya Ukuran
Saya pernah bertemu dengan anak yang nilainya selalu rendah. Di rapor, ia tampak seperti siswa yang gagal.
Tapi suatu hari, saya melihat ia membujuk temannya yang menangis karena dimarahi guru lain. Dengan sabar dan lembut. Hari itu, saya tahu: anak ini tidak gagal. Ia sedang tumbuh dengan caranya sendiri.
Nilai akademik itu penting, iya. Tapi kadang kita lupa, nilai empati, keberanian, dan kejujuran juga layak dihargai. Dan sering kali, nilai-nilai itu tidak tercetak dalam angka, tapi dalam cerita.
Refleksi Saya Sebagai Guru
Saya tidak menulis ini untuk mengajari siapa pun. Saya menulis ini karena saya juga sedang belajar.
Belajar untuk lebih peka. Belajar untuk tidak hanya melihat siswa dari hasil ulangan, tapi juga dari tatapan mata mereka saat saya berbicara. Dari nada suara mereka saat menjawab. Dari cara mereka duduk, berjalan, dan diam.
Menurut saya, guru hari ini perlu menjadi lebih banyak pendengar daripada pembicara. Karena banyak anak yang tidak butuh petuah, mereka hanya butuh didengar.
Menjadikan Kelas Sebagai Tempat yang Layak Ditinggali Hati
Bukan hanya siswa yang butuh rasa aman, guru juga. Kadang, kita juga datang ke kelas dengan hati yang lelah.
Tapi saat kita sama-sama menyadari bahwa kelas bukan tempat sempurna, melainkan tempat tumbuh bersama, maka akan ada ruang untuk saling memahami.
Saya ingin kelas jadi tempat di mana anak bisa berkata, "Saya nggak tahu," tanpa takut ditertawakan.
Tempat di mana seorang siswa bisa menangis dan tak merasa lemah karenanya. Tempat di mana tawa tidak perlu jadi topeng.
Karena Kita Semua Pernah Jadi Murid
Dan mungkin, tulisan ini juga untuk saya yang dulu. Anak yang takut menjawab soal karena pernah dipermalukan.
Anak yang pura-pura paham karena tak ingin dibilang bodoh. Anak yang ingin bicara, tapi tidak tahu kepada siapa.
Jika kamu pernah merasakan itu, maka kamu tahu persis: kelas itu penuh cemas, tawa, dan doa-doa yang tak terucap.
Mari Kita Buat Kelas Itu Lebih Manusiawi
Saya tidak punya resep pasti bagaimana menjadi guru yang sempurna. Tapi saya percaya, jika kita bisa memandang siswa sebagai manusia utuh bukan sekadar pemilik angka rapor maka kelas akan menjadi tempat yang lebih hangat.
Dan siapa tahu, dari kelas yang hangat itu, lahir anak-anak yang lebih percaya pada dirinya sendiri, lebih peduli pada sekitarnya, dan lebih siap menghadapi hidup.
Bukan karena mereka tahu semua jawaban, tapi karena mereka tahu bahwa salah pun tak apa. Bahwa tumbuh itu proses. Dan bahwa mereka tidak sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI