Â
Ada Saatnya Kita Harus Jatuh, agar Belajar Berdiri
Saya masih ingat betul suatu hari. Saat saya duduk di bangku sekolah dasar. Kelas terasa hening, kecuali suara kapur yang sesekali berdecit di papan tulis.
Saya, dengan percaya diri, maju ke depan untuk mengerjakan soal matematika yang terasa begitu sederhana. Setidaknya menurut saya. Tapi ketika angka demi angka saya tuliskan, bisik-bisik kecil mulai terdengar dari bangku belakang.
Guru saya, yang sabar tapi tegas, membiarkan saya menyelesaikan tulisan saya. Setelah saya duduk kembali, dia membahas kesalahan saya dengan perlahan, tanpa mencibir, tanpa menghakimi.
Hari itu, saya membuat banyak kesalahan. Tapi yang saya ingat bukan rasa malu melainkan rasa aman. Aman untuk salah. Aman untuk belajar.
Sekarang, bertahun-tahun kemudian, saya sering merenungkan: seandainya semua kelas dipandang sebagai ruang untuk mencoba, salah, lalu belajar.
Kelas bukan sebagai arena untuk membuktikan siapa yang paling sempurna, mungkin banyak dari kita akan tumbuh dengan lebih berani.
Kesalahan Bukan Musuh, tapi Jembatan
Ada satu hal aneh tentang dunia pendidikan. Kita sering memujanya sebagai tempat belajar, tapi di saat yang sama, kita membiarkan ketakutan akan kesalahan menggerogoti anak-anak di dalamnya.
Di banyak ruang kelas, kesalahan seakan menjadi momok. Satu jawaban salah bisa mengundang tawa, cibiran, bahkan coretan merah mencolok yang terasa seperti stempel kegagalan.
Padahal kalau dipikir, kesalahan itu bukan lawan dari pembelajaran. Kesalahan adalah pembelajaran.
Seorang bayi tidak pernah dihukum karena jatuh saat belajar berjalan. Kita tidak menertawakan anak kecil saat mereka keliru mengucapkan kata-kata pertama mereka. Kita justru bersorak, bertepuk tangan, memberinya ruang untuk mencoba lagi. Mengapa begitu banyak dari kita lupa itu saat anak-anak bertambah besar?