Kepulan asap rokok naik ke atas seolah-olah menghadap Dia yang di atas sana. Dia terus berpidato. "Untungnya, jemaat sekarang ini mulai cerdas. Kalau isi kotbah seperti warna kulit ular, jemaat pada walk out. Pemimpin agama mestinya jangan mati rasa. Aksi walk out artinya tanda tidak setuju."
Tatapan mata sang kakek memandang jauh ke barisan bukit di sebelah utara beranda rumahku. Tatapan yang menyapu seluruh area persawahan kering yang tidak lagi dikerjakan pemiliknya.Â
Kekeringan pada persawahan di lereng bukit itu seperti kekeringan di dalam hati ini yang selalu mendambakan siraman air surgawi. Aku tetap membisu. Aku seolah-olah terpaku, tak berkutik.
Sang kakek tetap melanjutkan nostalgianya dan kali ini di dalam pembicaraannya sudah tampak orasi ilmiah. "Ah, tua bangka, jangan membawa aku ke ruangan perkuliahan dulu", gerutuku dalam hati. Dasar kakek cerewet. Ia terus melanjutkan pembicaraannya. "Kepada para pimpin agama, saya mau katakan, bahwa pemimpin agama terdiri dari dua kata yaitu pemimpin dan agama. Pemimpin artinya orang yang memimpin. Agama artinya ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Dia Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta manusia dan lingkungannya. Jadi dari deretan kata-kata yang membentuk pengertian pemimpin dan agama tadi tidak disebutkan kata politik. Mana kata politiknya? Tidak ada kan?".
Aku hanya mengangguk-angguk. Sang Kakek melanjutkan: "Saya tidak tahu, apakah pemimpin agama yang memberikan kotbah itu belajar teologi dan ilmu tafsir atas kitab atau tidak.Â
Banyak pengkotbah seolah-olah tidak memahami teologi, dan kitab suci sehingga pada gilirannya pengkotbah tidak memahami dan menyadari tujuan dari khotbahnya".
Angin sepoi-sepoi menyapa kumis panjangnya. Sebentar-sebentar ia menarik perlahan kumis yang beruban itu. Sepertinya, ia tak kehabisan kata-kata. "Yang lebih parah lagi sekarang ini adalah banyak pengkotbah yang tidak sadar diri......Berkotbah seolah-olah tidak menghadapi pendengar yang hidup dalam dunia yang penuh dalam berbagai, masalah, pergumulan, penderitaan, harapan-harapan yang suram, kekecewaan, putus asa dan lain-lain di tengah-tengah kemajuan".
Ia menunjukkan tangannya tepat di depan hidungku yang tidak mancung ini. "Pada intinya khotbah bertujuan agar para pendengarnya menjadi taat kepada Dia, dan mengalami keselamatan dari Dia yang di atas sana dalam kehidupan sehari-hari. Syarat dalam mencapai keselamatan itu adalah iman yang bertumbuh dalam diri kita masing-masing. Dan satu lagi yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kesempatan berkotbah bukanlah suatu kesempatan untuk menyampaikan apa yang ingin pengkhotbah sampaikan, melainkan menyampaikan apa yang Dia di atas sana hendak katakan kepada pendengar. Ia berbicara kepada orang dan masyarakat di dalam waktu tertentu".