Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... Lainnya - Pencari Makna

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sebuah Tinjauan Filosofis: Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga

16 Juli 2019   21:09 Diperbarui: 16 Juli 2019   21:31 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika berbicara soal penguatan peran keluarga dalam pendidikan anak, pikiran saya selalu menghubungkannya dengan sebuah audigium tua. "Keluarga adalah tempat persemaian pertama dan utama". Petuah tua ini tidak usang dimakan waktu. Selalu menggema dari zaman ke zaman.

Mengapa pada zaman yang sedemikian maju ini perlu mengangkat kembali tema penguatan peran keluarga dalam pendidikan anak? Tema ini terlahir dari adanya konsep pendidikan di dalam keluarga yang seharusnya telah diberikan oleh orang tua tetapi pada tataran praksisnya belum optimal/belum sepenuhnya dipraktekkan.

M. Syahran Jailani dalam ebooknya yang berjudul: "Teori Pendidikan Keluarga dan Tanggung Jawab Orang Tua Dalam Pendidikan Anak Usia Dini", mendeteksi faktor penyebab kegagalan pendidikan dalam keluarga.

Pertama, kurangnya pengetahuan, pemahaman para orang tua tentang kedudukan, peran dan fungsi serta tanggung jawab para orang tua dalam hal pendidikan anak-anak di rumah. Kekurangan pengetahuan dan pemahaman orang tua terdeteksi pada ketidakmampuannya dalam menyelesaikan pendidikan anak-anak. Hal ini bisa kita lihat dari masih banyaknya anak-anak putus sekolah. Meningkatnya angka pengangguran yang tidak terdidik.

Kedua, lemahnya peran sosial budaya masyarakat dalam membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan keluarga. Keluarga sering mengabaikan nilai-nilai edukasi di dalam lingkup rumah tangga. 

Membiarkan anak-anak bermain dan bergaul tanpa kontrol yang memadai. Kurangnya perhatian tatkala ia sedang berkomunikasi dengan sesamanya. Sikap apatis sebagian besar para orang tua terhadap tata krama kehidupan pergaulan anak-anak di lingkungan bermainnya.

Ketiga, kuatnya desakan dan tarikan pergulatan ekonomi para orang tua dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan keluarga. Keterdesakan ekonomi menyebabkan orang tua meninggalkan anak-anaknya tanpa perhatian, bimbingan dan pendidikan. Yang lebih sadis lagi dengan alasan keterdesakan ekonomi, orang tua telah menjadikan anak-anak sebagai alat komersialisasi untuk mendapatkan penghasilan dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

Keempat, kemajuan arus teknologi informasi yang mengglobal turut pula mempengaruhi cara berpikir dan bertindak orang tua. Perilaku instant dengan memberi fasilitas media yang tidak mendidik, membiarkan mengakses berbagai informasi yang tidak mendidik melalui tayangan media televisi dan pengawasan yang tidak terkontrol akibat ketidakpedulian para orang tua.

Menyikapi persoalan penyebab belum optimalnya praktek pendidikan keluarga di atas, saya coba berbincang dengan orang tua saya tentang apa persisnya peranan keluarga dalam pendidikan anak. Mengapa mesti orang tua yang harus diwawancarai pertama? 

Persepsi orang tua dan pendidikan sangat vital sebab segala sikap dan tindakan dibangun di atas persepsi. Jika orang tua mempersepsi negatif terhadap anak dan pendidikannya, sikap dan perbuatan si anak juga akan negatif. Sebaliknya, jika orang tua mempersepsi positif terhadap anak dan pendidikannya, dia akan bertindak positif pula. Oleh sebab itu, orang tua yang bijaksana akan senantiasa meningkatkan persepsi positifnya terhadap anak dan pendidikannya dengan cara meningkatkan pemahamannya terhadap konsepsi anak dan pendidikan secara benar (Sumber).

Kembali ke soal wawancara tadi. Bagi ayah saya yang bekerja sebagai petani memahami konsep penguatan keluarga dalam pendidikan anak sama halnya dengan memahami konsep persemaian. Konsep persemaian baginya berarti menyiapkan bibit yang berkualitas dan memadai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan, tata waktunya tepat dan bibitnya dapat beradaptasi dengan tapak atau kondisi setempat.

Konsep ayah di atas ternyata memiliki korelasi dengan pemikiran Comenius. Comenius (1592 -- 1670) seorang filsuf pendidikan berpendapat bahwa proses pendidikan tidak dilakukan secara tergesa-gesa, melainkan dilakukan secara terencana dan bertahap sesuai dengan tahapan perkembangan fisik dan psikis peserta didik (sumber).

Dalam kerangka pikiran Comenius dan ayah saya tadi, saya coba mendalami pendidikan keluarga dari titik tinjau persemaian benih. Keluarga sebagai persemaian merupakan tempat sekaligus tahap awal dari setiap proses penyelenggaraan kegiatan pendidikan anak. Oleh karena itu, keluarga sebagai tempat dan tahap awal suatu pendidikan perlu memikirkan beberapa pertimbangan yang perlu digunakan dalam merencanakan kegiatan persemaian. 

Pertimbangan-pertimbangan yang harus dipikirkan orang tua selaku subjek utama pemerhati pendidikan anak adalah menetapkan model/ jenis persemaian yang diterapkan, lokasi persemaian, kebutuhan akan alat dan bahan yang diperlukan, tata kelola waktu yang diperlukan dan metode pendekatan yang digunakan.

Pertama, Model atau Jenis Persemaian. Mengingat ada begitu banyak model persemaian yang ditawarkan, keluarga pun mesti memilih jenis persemaian yang tepat untuk diterapkan. Model persemaian yang tepat, hemat penulis, untuk konteks pendidikan keluarga adalah model persemaian tetap. 

Persemaian tetap dalam konteks ini dipahami sebagai tempat terjadinya proses pendidikan. Proses pendidikan terjadi di dalam keluarga itu sendiri, tidak dipindahkan atau mempercayai suatu lembaga atau asrama untuk mendidik anak.

Kedua, Lokasi Persemaian. Konsep persemaian tetap merupakan lawan dari suatu model pendidikan yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak-anak kepada sekolah atau pihak lain. 

Pendidikan yang menitipkan anak menyebabkan orang tua apatis terhadap pendidikan anak dalam keluarga, padahal sebagian besar waktu anak justru dihabiskan di dalam lingkungan keluarganya. Kecenderungan tersebut tidak hanya terjadi pada keluarga yang orang tuanya awam akan pendidikan, tetapi justru mulai menggejala pada golongan intelektual. 

Orang tua cenderung lebih mengutamakan pekerjaan dan kesibukannya sendiri daripada memperhatikan pendidikan anak-anak di keluarganya. Terlebih-lebih pada keluarga yang orang tuanya sangat sibuk dengan pekerjaan mereka. Dalam keluarga semacam ini, pendidikan keluarga hampir-hampir "punah" sebab masing-masing sibuk mengurusi pekerjaannya. 

Dalam lingkungan keluarga seperti ini, anak akan tercukupi kebutuhan fisik dan materialnya, tetapi sangat menderita secara rohani. Akibatnya, anak mencari perhatian dengan melakukan berbagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan. 

Bahkan, tidak jarang anak dari keluarga yang secara ekonomis tercukupi kebutuhannya dan pendidikan orang tuanya tinggi, tetapi akhlak dan moralnya berantakan. Satu penyebab utamanya adalah tidak kuatnya peran atau fungsi keluarga dalam mendidik anak-anaknya (sumber).

Ketiga, Pemenuhan Kebutuhan. Dalam persemaian tetap segala kebutuhan baik kebutuhan akan bahan maupun peralatan dari seluruh anggota keluarga mesti diperhatikan secara tepat, cepat dan akurat. Sebagaimana halnya dalam dunia pertanian, kelebihan dosis pupuk atau obat saja akan menyebabkan efek samping bagi perkembangan tanaman demikian pula halnya dengan pemenuhan kebutuhan anak. 

Dalam memenuhi kebutuhan anak, orang tua mesti berada pada tempat/posisi yang tepat untuk melihat kebutuhan anak sehingga dalam menjawabi kebutuhan anak, orang tua tidak mendasarkan tindakan pemenuhan kebutuhan anak berdasarkan faktor keinginan anak melulu melainkan berdasarkan atas analisis kebutuhan yang akurat. Orang tua harus tahu membedakan apakah permintaan anak hanya sebagai reperesentasi keinginan ataukah representasi kebutuhan.

Keempat, Tata Kelola Waktu. Keluarga sebagai tempat persemaian tetap harus memiliki tata kelola waktu yang tepat. Tata kelola waktu yang dimaksudkan di sini erat hubungannya dengan seberapa waktu yang dibutuhkan anak di dalam rumah dan sejauh mana keefektivitasan waktu bagi anak itu sendiri. 

Anak tidak hanya merasa nyaman dalam ketersediaan waktu tetapi juga memantau seberapa "dalam" ia memanfaatkan waktu yang diperolehnya. Oleh karena itu, orang tua perlu membuat jadwal kegiatan tetap anak. Pelanggaran atas jadwal kegiatan mesti diberi sanksi yang tegas. Pemberian sanksi bermaksud agar anak tidak tumbuh dalam budaya permisif.

Kelima, Metode Pendekatan. Orang tua selaku pelopor pendidikan anak mesti menguasai penguasaan metode didaktik dan psikologi anak. Edi Warsidi dalam artikelnya berpendapat bahwa penguasaan metode didaktik dan psikologi anak merupakan unsur mutlak yang harus dimiliki orang tua. Orang tua harus mampu menjalankan fungsi edukatif. Agar fungsi edukatif berjalan secara efektif dan efesien perlu menggunakan metodologi dan media yang tepat. 

Proses pendidikan yang tidak memperhatikan metodologi yang tepat dan psikologi perkembangan dapat melahirkan insan yang salah asuhan. Oleh sebab itu, orang tua yang bijaksana akan berupaya meningkatkan kemampuannya dalam menggunakan metodologi didaktik dan psikologi perkembangan anak.

Akhirnya, keluarga adalah komponen pertama dan utama dalam pendidikan anak karena ia berfungsi sebagai penopang, tempat berkembangnya akar dan perantara untuk menyuplai nutrisi yang dibutuhkan anak dalam lingkungan alaminya. Tumbuhnya seorang anak sangat terpegantung pada kualitas di mana anak itu hidup. Semakin baik media hidupnya, semakin bagus juga perkembangan anaknya.

ditulis juga di sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun