Mohon tunggu...
Evi Ghozaly
Evi Ghozaly Mohon Tunggu... Konsultan - | Penulis | Praktisi pendidikan | Konsultan pendidikan |

Tebarkan cinta pada sesama, melalui pendidikan atau dengan jalan apapun yang kita bisa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengaji Ihya Ulumuddin pada Gus Ulil Itu Seperti Candu

7 Juni 2020   20:53 Diperbarui: 7 Juni 2020   20:47 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Jujur, orang tua saya sangat ketat dalam memilihkan bacaan buku atau kitab untuk mengaji. Mungkin karena saya pernah diam-diam belajar tentang Syiah Imamiyah dan fengsui tanpa guru, Abah jadi takut saya akan belajar apa lagi dan lagi. 

Meski ketika kelas 6 SD sudah mengikuti bai'ah Thariqah Qodiriyah wan Naqsabandiyah, tapi Abah tegas mewanti-wanti, "Jangan sampai ambil kuliah jurusan ilmu tasawuf". Lagi-lagi saya menduga karena Abah khawatir dengan pemikiran saya yang kadang liar dan ngawur.

Sebelum saya mengaji kitab Ihya Ulumiddin untuk pertama kalinya sekian tahun silam, Abah meminta saya puasa dan shalat hajat. Itupun setelah selesai ngaji Ayyuhal Walad dan Bidayah. Sebegitu tingginya Abah menempatkan kitab ini, sedemikian mulianya Abah meletakkan ilmu tasawuf. 

Hingga yang terpatri dalam ingatan saya: kitab Ihya itu "serem" dan "rumit". Dua kali mengaji Ihya, dan saya tak pernah khatam, meski sungguh sejak saat itu saya sangat mengidolakan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali.

::

Hingga sekitar 3 tahun lalu, Gus Ulil mengadakan pengajian Ihya lewat fesbuk. Sekali saja mengintip, saya kaget luar biasa. Gus Ulil mempertahankan gaya mengaji ala pesantren, mbalah kata demi kata, kalimat perkalimat,  kemudian menjlentrehkan dengan detail. 

Yang membuat saya takjub, Gus Ulil mampu mengajak terbang kesana kemari. Membandingkan dengan pemikiran tokoh lain, menganalogkan poin asing dengan hal kekinian, bahkan mempertegas keterangan dengan fenomena media sosial. Sangat asyik, menarik.

Bismillah. Saya memutuskan nderek ngaos. Kebiasaan lama masih saya lakukan, meski mengaji online, saya tetap wudlu sebelum mulai ikut mengaji. Duduk di depan dampar, menghadap kiblat, baca fatihah dan shalawat. 

Pokok tadzim lah, takut Abah haha. Saat itu, satu-satunya tindakan nglunjak saya adalah, saya sesekali mencoret Ihya yang berupa donlotan. Bukan kitab sebenarnya. Ah, semoga Imam Al Ghozaly ridlo.

Beberapa kali absen, tapi karena bisa diqodlo dengan melihat rekamannya, saya merasa tetap pede nambal yang bolong. Dan saya menjadi geer, sepertinya saya akan bisa khatam ngaji Ihya ini

::

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun