[caption id="attachment_351847" align="aligncenter" width="551" caption="Garis depan aksi AMP (Sumber : http://www.taringpapuanews.com)"][/caption]
“Happy birth day sist, but now, your time is ticking,” bisik teman saya sambil memberikan sebuah bungkusan kecil dihiasi pita imut. “thanks but, is it?” Tanya saya kepada teman saya yang tersenyum sambil melengos menggendong anaknya yang belum genap 2 tahun. Saya mengerti apa maksud teman saya, dengan umur yang hampir seperempat abad, waktu “single woman” saya makin menyempit. Teringat kata Mama saya suatu hari, bahwa saya harus secepatnya menyelesaikan “Evha Project” kemudian menuju kepada “Married Project” dan “Baby Project”. Terima kasih kepada teman saya atas bingkisan dan kata-katanya yang sukses membuat saya susah tidur 2 hari ini. Tak bisakah ketiga “project” tersebut dilakukan bersamaan?, pikir saya. Toh saat ini berbagai pola emansipasi wanita bertebaran di mana-mana, wanita sudah masuk dalam lingkup yang dahulu mungkin hanya “mimpi” bagi wanita untuk masuk dalam lingkup tersebut. Jadi, semestinya “Evha Project” tidak akan menghalangi 2 project yang lainnya. Tapi bisakah hal itu terjadi, mengingat kodrat saya sebagai wanita?
Emansipasi pada dasarnya adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum. Istilah Emansipasi Wanita pada prinsipnya memberikan seluruh hak dasar manusia (Human Rights) kepada Wanita, misalnya hak berbicara, hak hidup, dan lain sebagainya. Emansipasi Wanita berarti memperjuangkan wanita untuk memperoleh persamaan derajat dengan para pria. Jadi wanita tidak lagi ditempatkan “hanya” di dapur-sumur-kasur saja, dunia yang luas pun terbuka bagi para wanita. Emansipasi wanita menjadi penyemangat bagi wanita untuk menunjukan bahwa “Jika kalian bisa maka kami pun bisa”, sayangnya semangat yang menggebu-gebu bisa menjadi bumerang, bila tidak dibekali oleh pemahaman. Emansipasi yang intinya adalah mengangkat derajat wanita bisa menjadi baju baru eksploitasi terhadap wanita.
Semangat Emansipasi Wanita adalah persamaan derajat, artinya setiap orang punya kesempatan yang sama, pria atau wanita. Mungkin dalam bahasa sederhana saya adalah saya Evha Uaga, seorang wanita Papua. Perlakukan saya sebagai Evha berdasarkan kemampuan saya, bukan saya sebagai wanita, bukan saya sebagai Papua. Ketika saya tidak mampu tetapi saya dipilih untuk melakukan sesuatu karena saya wanita atau Papua, itu bukanlah semangat dari Emansipasi Wanita. Hal ini bisa berbahaya, karena kodrat saya sebagai wanita juga harus diperhatikan. Oleh karena itu, Emansipasi ini perlu dibarengi oleh pemahaman konsep Keadilan Gender. Konsep ini adalah keadilan kodrat antara pria dan perempuan, konsep ini juga memandang wanita dan pria memiliki kodrat yang berbeda. Masing-masing, baik wanita ataupun perlu diperlakukan secara khusus sesuai kodratnya. Ketidakpahaman suatu kelompok akan konsep kesetaraan dan keadilan gender ini bisa merubah “Emansipasi Wanita” menjadi “Eksploitasi Wanita”.
Contoh dari kesalahan ini adalah peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu, ketika Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melaksanakan aksi unjuk rasa di Yogyakarta. Sejak saya kuliah di Yogyakarta beberapa tahun yang lalu, AMP memang sering melaksanakan aksi unjuk rasa menuntut lepas dari Indonesia di Yogyakarta. Beberapa bulan kebelakang, aksi AMP ini mendapat tentangan dari Ormas yang dianggotai masyakrakat Yogyakarta, Paksi Paton. Bahkan dalam aksi terakhir, rabu lalu, terjadi baku pukul antara Paksi Paton dan AMP sehingga Polisi harus mengeluarkan satu tembakan peringatan untuk memisahkan keduanya. Kabid Humas Polda Jogjakarta, AKBP Anny Pujiastuti, menyesalkan peristiwa tersebut, menurutnya antara AMP dan Paksi Kato harusnya menahan diri dan menaati hukum. Apalagi Indonesia merupakan negara hukum, maka, lanjut Anny, sudah sepatutnya warga menaati hukum. Dalam bentrok antara AMP dan Paksi Katon tersebut, walaupun sudah ditengahi oleh polisi, menimbulkan korban luka-luka dari kedua pihak, salah satunya adalah Agustinus Batangga, seorang mahasiswi Papua.
Perselisihan AMP dan Paksi Katon sudah terjadi dalam 2 aksi sebelumnya, masing-masing ngotot terhadap pendiriannya, yang satu Indonesia, lainnya merdeka. Sehingga potensi konflik menjadi bentrokan fisik sangat besar. Bahkan dalam bentrok tersebut, kedua kubu sudah membawa “sesuatu” untuk berjaga-jaga bila terjadi bentrok. Tidaklah bijak menempatkan wanita sebagai “garis depan” bila melihat potensi konflik yang sudah berkembang seperti itu. Wanita memang punya hak untuk menyuarakan ide politik pribadinya dalam berbagai hal termasuk demonstrasi, tetapi menempatkan wanita sebagai garis depan dengan kelompok pria di belakangnya pada konflik yang berpotensi menjadi bentrokan fisik, sama saja mengeksploitasi wanita sebagai perisai hidup.
Banyak wanita yang menurut saya “try to hard” untuk menunjukan bahwa “wanita bukanlah makhluk yang lemah” semangat yang berlebihan untuk itu bisa menjadi bumerang bagi kita, kaum wanita sendiri. Pemahaman terhadap konsep kesetaraan dan keadilan gender dengan memahami kodrat masing-masing bisa membantu menghindari hal itu. Sehingga Emansipasi tidak menjadi Eksploitasi.
http://beritajogja.co.id/2014/08/07/paksi-katon-hadang-demo-mahasiswa-papua-polda-nggak-boleh-itu/
http://beritajogja.co.id/2014/08/06/paksi-katon-bantah-sengaja-serang-mahasiswa-papua/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H