Mohon tunggu...
EVA PUSPITASARI
EVA PUSPITASARI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa semester 2 Program Studi Industri Pariwisata Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Sumedang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Kita Semua Memiliki Privilege? Fenomena Privilege di Tengah Masyarakat Indonesia

24 Maret 2023   09:14 Diperbarui: 24 Maret 2023   09:41 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika kita mencoba untuk merenung, memahami dan memaknai dimulai dari siapa kita?, bagaimana kondisi keluarga kita?, dan apa keuntungan yang didapatkan dari situasi dan kondisi kita saat ini?. Kemungkinan hal tersebut akan membuat kita mengeluh dan sulit bersyukur, karena pertanyaan tersebut membuat kita harus mengakui darimana kita berasal, yang dimana bisa saja kita tidak begitu menyukai akan jawabannya atau bahkan jawabannya adalah kekurangan bagi sebagian kita. Terdapat hal yang tidak semestinya kita lakukan adalah merespon hal tersebut dengan membatasi diri untuk bertumbuh, membatasi diri untuk meraih cita-cita, dan membatasi diri untuk memiliki harapan dan tujuan, hanya karena kita merasa kita tidak berprivilege eksternal yang sama dengan orang lain. Tidak memiliki privilege eksternal bukan berarti kita tidak memiliki kesempatan untuk terus bertumbuh. 

Jika kita terus menanamkan mindset bahwa hanya orang kaya yang dapat kuliah di luar negeri, hanya orang kaya yang dapat membeli rumah dan mobil mewah, hanya orang cantik yang dihargai banyak orang, maka kita akan menjadi seoerang pemalas dan penuh dalam kecemasan yang selalu menggantungkan segala sesuatu pada takdir. Bukan takdir yang salah, namun mindset kita yang harus diubah, karena yang membtasi diri kita adalah diri kita sendiri.

Bagaimana menyikapi privilege?

1. Acceptance (penerimaan)

Segalanya dimulai dari penerimaan, kita menerima diri kita sendiri atas segala situasi dan kondisi. Mungkin tujuan terlihat jauh atau terasa sangat berat untuk dapat meraihnya karena tidak memiliki privilege eksternal. Namun, karena dalam diri kita belum bisa menerima siapa kita, darimana kita berasal, atau terlebih lagi belum bisa memaafkan kesalahan-kesalahan diri kita, maka acceptance adalah hal  yang sulit untuk dilakukan. Daripada kita terus memendam lebih baik kita menerima sesuatu yang telah terjadi, karena tidak semua hal ada atas kontrol diri kita masing-masing.

2. Self-Reflection (evaluasi)


Daripada kita terus-terusan bertanya "mengapa kondisi saya seperti ini dan tidak sebaik kondisi dia?". Lebih baik kita bertanya "Apa yang dapat saya lakukan untuk hari ini dan seterusnya?". Diantara kita pasti pernah berpikir bahwa ketika tidak memiliki kekayaan, akses yang bagus, paras yang cantik atau tampan sampai menyadari bahwa kita sebenarnya memiliki hal istimewa yang bisa saja hal tersebut tersembunyi dan tidak disadari. Kita mampu membentuk dan membangun "istimewa" itu dengan sendirinya. Sadar atau tidak ada banyak sekali hal yang sebenarnya istimewa , namun selama ini kita abaikan keberadaannya. Privilege ini dapat berupa hal-hal yang selama ini terdengar simple, misalnya  memiliki orang tua yang mendukung cita cita  kita pun adalah sebuah privilege bagi kita karena banyak anak-anak di luar sana yang tidak memiliki support system sama sekali. Selain itu, memiliki pilihan untuk menentukan tujuan hidup seperti apa yang ingin kita jalani pun adalah suatu keistimewaan tersendiri karena diluar san apun pasti banyak orang tidak bisa menentukan tujuan dan pilihan hidupnya sendiri . Refleksi diri pun sangat penting bagi seseorang yang memiliki privilege eksternal karena sejauh mana kita dapat mengoptimalkan privilege tersebut. Daripada kita terus-terusan bertanya "mengapa kondisi saya seperti ini dan tidak sebaik kondisi dia?". Lebih baik kita bertanya "Apa yang dapat saya lakukan untuk hari ini dan seterusnya?

3. Create our own standard (Buatlah standar kita sendiri)

Seringkali kita hanya terfokus pada privilege yang dimiliki oleh orang lain. Misalnya melihat orang lain sukses dengan segala privilege yang ia miliki. Terus-terusan melihat privilege orang lain terkadang membuat diri kita merasa kecil hati, tidak bersemangat, bahkan putus asa sebelum mencoba. Hal ini disebabkan karena kita menerapkan standar privilege orang lain dala hidup kita. Padahal kita pun harus hidup dalam standar yang kita bangun dan kita miliki agar dapat memanfaatkan apa saja hal yang bisa kita lakukan dan optimalkan.  Memandang privilege orang lain tanpa ada rasa termotivasi akan sulit untuk kita berkembang ke arah yang lebih baik. 

4. Listen and Learn (Mendengar dan belajar)

Dalam menyikapi privilege, dua hal tersebut harus kita lakukan. Selama ini kita seringkali menilai bahwa mereka yang sukses hari ini adalah mereka yang dipenuhi oleh privilege. Privilege memang ada dan kita tidak dapat menyangkalnya. Privilege adalah point dalam perjalanan kita, masa depan tidak bergantung pada sosial privilege, namun justru kita harus berusaha untuk meraih masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, yuk kita lebih banyak lagi dalam mendengar, melihat, aan belajar apa yang orang lakukan dan tidak kita lakukan, kebiasaan apa saja yang mereka pertahankan, apa yang mereka baca dan tidak kita baca, dengarkan kisah-kisah mereka, bagaimana membangun mentalnya, perjuangan, mimpinya, bahkan bagaimana mereka mewujudkannya. Yakinlah banyak orang hebat yang justru lahir dalam kondisi penuh keterbatasan, perjuangan yang menantang, sampai yang awalnya mereka tidak memiliki apapun namun memiliki kisah sukses tersendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun